kontradiksi moral dan spiritual dalam proses pembangunan masjid, tempat yang seharusnya menjadi simbol kesucian dan ketulusan. Ketika masjid dibangun dengan cara-cara yang tidak halal, apalagi lewat praktik kotor seperti suap, maka ada pertanyaan besar yang harus dijawab bersama: Apakah kita sedang membangun rumah Allah, atau hanya membangun bangunan yang seolah-olah suci?
Belajar Kritis
Masjid adalah tempat suci, simbol kehadiran Allah di tengah masyarakat, dan pusat spiritual umat Islam. Ia dibangun bukan sekadar untuk menampung shalat berjamaah, tapi juga untuk menumbuhkan akhlak, kejujuran, keadilan, dan semangat ibadah. Namun, di zaman ini, kita menghadapi fenomena ganjil: masjid dibangun lewat jalan haram—dengan menyuap pejabat demi memperoleh anggaran pembangunan.
Fenomena ini tidak hanya merusak nilai ibadah, tapi juga mencoreng makna dari masjid itu sendiri.
1. Ketika Tujuan Tidak Membenarkan Cara
Dalam Islam, niat baik tidak akan pernah menghalalkan cara yang buruk. Membangun masjid adalah amal mulia. Tapi jika dilakukan dengan cara menyuap anggota dewan, memanipulasi proposal, atau “mengamplopi” pejabat agar proyek dikabulkan, maka masjid itu tumbuh dari akar yang kotor. Bagaimana bisa kita berharap berkah dari sesuatu yang sejak awal ditanam dengan dosa?
2. Masjid Jadi Simbol Kemunafikan?
Alih-alih menjadi pusat kebenaran, masjid yang dibangun dari hasil suap berisiko menjadi simbol kemunafikan: tampil megah, penuh kegiatan agama, tapi dibangun dari uang haram, dan mungkin dikelola oleh orang-orang yang menutup mata pada keadilan. Ini bukan hanya persoalan hukum negara, tapi penghinaan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan Islam itu sendiri.
3. Konsekuensi Sosial dan Spiritual
Dampaknya tidak kecil. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan. Anak-anak tumbuh dengan contoh buruk: “Yang penting tujuannya baik, caranya bebas.” Apakah kita rela mencetak generasi yang menganggap suap itu halal jika untuk tujuan “agama”? Bukankah ini justru mengaburkan batas antara yang hak dan yang batil?
4. Mengapa Ini Terjadi?
Ada dua sebab utama:
- Mentalitas instan dan pragmatis: Alih-alih membangun masjid bersama warga dengan gotong royong, masyarakat tergoda jalur cepat lewat bantuan pemerintah. Sayangnya, untuk itu, kadang harus “membujuk” pejabat dengan suap.
- Krisis integritas tokoh agama dan masyarakat: Ketika para tokoh agama sendiri tidak tegas mengecam praktik ini, maka masyarakat pun menganggapnya wajar.
5. Solusi: Kembali ke Nilai Dasar Ibadah
Jika kita ingin masjid kita diberkahi, maka kita harus berani berkata: lebih baik membangun masjid kecil dari uang halal, daripada membangun masjid megah dari uang haram. Ini soal keberanian moral. Soal integritas kolektif umat. Jangan sampai rumah Allah dibangun dengan cara yang membuat Allah murka.
Penutup: Rumah Allah Harus Dibangun dengan Cara Allah
Masjid bukan proyek duniawi semata. Ia adalah pernyataan spiritual. Maka membangunnya harus dengan cara yang bersih, jujur, dan bernilai ibadah. Kalau cara membangunnya sudah korup, bagaimana mungkin tempat itu akan memancarkan nilai kejujuran?
Mari kita renungkan: Apakah kita membangun masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau hanya untuk memperlihatkan bangunan kepada manusia?
By: Andik Irawan