Di sejumlah desa yang wilayahnya cukup luas dan terbagi dalam banyak lingkungan kecil, marak muncul bangunan rumah ibadah skala lokal seperti musholla. Secara fungsi, musholla dibangun untuk menampung aktivitas ibadah masyarakat di satu area terbatas—seperti kampung atau RT tertentu—dan biasanya diperuntukkan hanya untuk shalat lima waktu dan kegiatan keagamaan ringan.
Namun yang kerap terjadi, musholla-musholla ini justru dibangun dengan skala yang sangat besar, megah, dan mencolok. Padahal lingkup jemaah yang akan menggunakannya hanya puluhan orang dari satu pojok kampung. Fenomena ini menarik sekaligus memunculkan pertanyaan: apakah ini bentuk kemajuan atau justru kesalahan berpikir?
Fungsi vs Fantasi
Secara konseptual, musholla dan masjid memiliki fungsi yang berbeda. Musholla bersifat lokal, sedangkan masjid mencakup kepentingan umat satu desa atau wilayah lebih luas. Ketika sebuah musholla dibangun seolah-olah akan menampung warga satu desa—dengan kapasitas besar, fasilitas mewah, dan desain seperti masjid raya—maka yang terjadi bukan efisiensi, melainkan pemborosan dan ketidaktepatan fungsi.
Fenomena ini menandakan bahwa banyak takmir atau penggagas pembangunan gagal memahami batas fungsi ruang ibadah. Musholla dijadikan simbol keagungan fisik, bukan wadah kebutuhan spiritual.
Dorongan Emosional dan Simbolik
Penyebab lainnya adalah motivasi simbolik dan emosional. Bangunan musholla dijadikan lambang kebanggaan kampung, proyek prestise tokoh lokal, bahkan arena “adu besar” antar lingkungan. Padahal ukuran musholla seharusnya menyesuaikan kapasitas dan kebutuhan jemaah, bukan dorongan ambisi untuk membangun yang “lebih besar dari kampung sebelah”.
Dorongan seperti ini tanpa perencanaan yang realistis akhirnya berujung pada rumah ibadah yang besar tapi sepi, fasilitas megah yang jarang terpakai, bahkan tumpang tindih fungsi dengan masjid utama di desa.
Kurangnya Koordinasi dan Tata Kelola
Pembangunan rumah ibadah semestinya melalui mekanisme koordinatif dengan pemerintah desa dan pemangku kepentingan. Namun di banyak desa, musholla dibangun secara spontan, tanpa data, tanpa pemetaan, dan tanpa dialog dengan pengelola masjid desa. Akibatnya, terjadi tumpang tindih wilayah ibadah, bahkan benturan sosial antar kampung yang memperebutkan legitimasi religius.
Paradigma yang Perlu Diperbaiki
Kesalahan terbesar sering kali datang dari cara pandang para takmir: bahwa rumah ibadah dinilai dari megahnya bangunan, bukan dari fungsinya. Ini adalah paradigma keliru yang perlu diluruskan. Rumah ibadah bukan sekadar monumen sosial, tetapi tempat yang mencerminkan kedalaman spiritual dan kebutuhan riil umat.
Bangunan sederhana tapi hidup dengan jamaah yang aktif lebih berharga daripada bangunan megah yang kosong dan sunyi.
Penutup: Kembali pada Esensi
Rumah ibadah bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk digunakan dan dihidupkan. Maka, membangun musholla megah di pojok kampung dengan jemaah terbatas bukanlah bentuk kemajuan, tetapi cermin dari kesalahan berpikir dan gagalnya memahami fungsi ruang ibadah secara proporsional.
Sudah saatnya masyarakat, terutama para penggagas dan takmir, kembali ke esensi: membangun rumah ibadah berdasarkan kebutuhan, bukan ambisi.
By: Andik Irawan