Transparansi dalam Distribusi Qurban: Kunci Menjaga Kepercayaan Masyarakat

Bagikan Keteman :


Transparansi dalam Distribusi Qurban: Kunci Menjaga Kepercayaan Masyarakat

Di sebuah desa yang aktif dalam pelaksanaan ibadah qurban, muncul dinamika sosial yang menarik untuk dicermati. Kepanitiaan qurban bekerja mengelola hewan-hewan qurban, memotong, mengemas, lalu membagikan dagingnya kepada para penerima. Namun, dari tahun ke tahun, muncul keluhan yang semakin sering terdengar dari masyarakat: “Percuma jumlah hewan qurban banyak, toh jatah daging untuk warga segitu-segitu saja.”

Keluhan ini bukan tanpa alasan. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan panitia dalam memberikan jatah yang cukup besar kepada setiap shahibul qurban (ahli qurban)—yakni sekitar empat kemasan daging. Meski secara hukum syariat ini sah dan boleh, namun efek sampingnya menjadi terasa di masyarakat: porsi daging untuk warga yang lebih luas justru menjadi kecil.

Fenomena Kesenjangan Harapan

Masyarakat awam yang melihat banyaknya hewan qurban—sapi atau kambing yang berjejer—secara naluriah berharap bahwa jumlah daging yang diterima juga akan meningkat. Ketika kenyataan tidak sesuai ekspektasi, maka yang muncul adalah rasa kecewa, curiga, dan desas-desus negatif terhadap panitia.

Padahal, panitia tidak serta-merta salah. Mereka menjalankan amanah sesuai aturan: ahli qurban memang berhak mengambil sebagian daging untuk diri dan keluarganya. Tapi masalahnya terletak pada manajemen harapan dan komunikasi sosial.

Pentingnya Transparansi dan Edukasi

Untuk menghindari kesalahpahaman yang berujung pada turunnya citra panitia qurban, ada beberapa langkah yang semestinya dilakukan:

  1. Transparansi Alokasi Daging
    Panitia bisa membuat informasi terbuka yang menunjukkan:
    • Jumlah hewan qurban
    • Jumlah shahibul qurban
    • Porsi untuk masyarakat
    • Porsi untuk panitia dan mustahik
    Dengan data ini, masyarakat akan paham bahwa daging yang terbatas memang dibagi dengan prinsip proporsional, bukan dikurangi secara sepihak.
  2. Edukasi Syariat Qurban
    Tidak semua masyarakat memahami bahwa shahibul qurban boleh mengambil bagian besar dari hewannya. Sosialisasi soal ini penting untuk membangun pemahaman keagamaan yang sehat dan tidak menghakimi.
  3. Penyampaian yang Terbuka dan Merakyat
    Daripada membagikan daging dalam diam, lebih baik panitia menjelaskan alokasi dan mekanismenya kepada tokoh masyarakat atau melalui forum kecil di masjid atau musholla. Ini menciptakan iklim saling percaya.

Mengembalikan Kepercayaan dengan Manajemen Sosial

Qurban adalah ibadah sosial. Maka selain aspek ibadah kepada Allah, juga harus diperhatikan bagaimana citra dan keadilan sosialnya di mata masyarakat. Panitia qurban bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga wakil kepercayaan umat. Citra mereka bisa rusak jika distribusi daging dianggap tidak adil, meski sebenarnya syar’i.

Yang dibutuhkan bukan perubahan aturan, melainkan perbaikan komunikasi dan distribusi yang empatik.

Penutup: Ibadah Sosial Butuh Sentuhan Sosial

Apa pun bentuknya, ibadah sosial seperti qurban selalu membutuhkan sentuhan komunikasi, transparansi, dan rasa keadilan. Ketika semua dilakukan terbuka dan jelas, maka walau masyarakat hanya menerima sepotong kecil daging, mereka akan menerimanya dengan hati yang lapang dan rasa syukur.

Dan pada akhirnya, itulah esensi qurban—pengorbanan, ketulusan, dan kebersamaan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment