Tradisi Maaf-Memaafkan di Hari Raya: Antara Keluhuran dan Formalitas Sosial

Bagikan Keteman :


Salah satu budaya yang melekat kuat dalam perayaan Hari Raya Idul Fitri adalah tradisi saling maaf-memaafkan. Dalam setiap momen lebaran, kita akan mendengar kalimat-kalimat sakral seperti “mohon maaf lahir dan batin” yang diucapkan hampir oleh setiap orang, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat. Ini adalah budaya yang agung dan mulia, mencerminkan ajaran Islam yang menekankan pada pembersihan hati, rekonsiliasi, dan menjalin kembali tali silaturahmi.

Namun, di balik kemuliaan tradisi ini, terdapat fenomena sosial yang patut menjadi renungan. Tidak sedikit di antara kita yang menjalani tradisi maaf-memaafkan ini secara dangkal, sekadar ucapan di bibir, tanpa menyentuh kedalaman hati. Ucapan maaf kadang dilontarkan secara sambil lalu, lebih karena tuntutan sosial atau formalitas budaya, bukan dari kesadaran penuh akan kesalahan atau keinginan sungguh-sungguh untuk memperbaiki hubungan.

Padahal, dalam kenyataan yang lebih dalam, proses memaafkan bukanlah sesuatu yang instan. Terutama ketika seseorang benar-benar telah disakiti hatinya, memaafkan sering kali menjadi proses panjang yang penuh liku. Dibutuhkan ruang untuk berbicara secara terbuka, pengakuan kesalahan secara jujur, kesediaan untuk bertanggung jawab atas perbuatan, serta komitmen untuk tidak mengulanginya kembali. Memaafkan bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga soal keberanian untuk menghadapi luka dan memperbaiki yang telah rusak.

Inilah yang membuat tradisi ini bisa berubah menjadi semacam “ritual semu” yang hampa makna. Jika seseorang meminta maaf hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, tanpa benar-benar menyesal atau memahami dampak dari kesalahannya, maka permintaan maaf itu bisa menjadi formalitas belaka. Bahkan, bisa menyerempet pada sikap munafik jika di satu sisi mengucapkan maaf, namun di sisi lain tidak memiliki niat untuk berubah.

Namun, penting juga untuk tidak serta-merta menolak atau menghakimi tradisi ini secara total. Budaya maaf-memaafkan adalah warisan sosial yang memiliki nilai luhur. Ia menjadi sarana untuk menjaga keharmonisan dan merajut kembali kebersamaan. Yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi makna di baliknya, membangun kesadaran baru bahwa memaafkan bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah proses spiritual dan emosional yang memerlukan kejujuran, kerendahan hati, dan keberanian menghadapi konsekuensi.

Sebagai individu, kita bisa memulai perubahan dari diri sendiri. Belajar meminta maaf dengan tulus, mengakui kesalahan dengan jujur, dan siap menanggung konsekuensinya. Di sisi lain, ketika diminta memaafkan, kita pun berhak mengambil waktu untuk memproses perasaan, membuka ruang dialog, dan tidak merasa terpaksa hanya demi menjaga citra “sudah saling memaafkan”.

Dengan cara inilah, tradisi maaf-memaafkan akan kembali menemukan maknanya yang sejati—bukan hanya sebagai simbol sosial, tapi sebagai jalan menuju ketulusan, kelegaan batin, dan rekonsiliasi yang utuh.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment