Dunia dakwah Islam adalah dunia yang agung dan terhormat. Berdakwah, yakni mengajak manusia kepada kebaikan dan jalan Allah, merupakan tugas suci yang dahulu dijalankan para nabi dan kini diwariskan kepada para ulama dan dai. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa menjadi seorang dai atau juru dakwah adalah sebuah misi mulia yang membutuhkan proses panjang, pengorbanan besar, dan kualitas pribadi yang luar biasa.
Seorang dai sejati bukan hanya dituntut menguasai ilmu agama secara mendalam, tetapi juga harus memiliki mental sekuat baja, kesabaran yang tinggi, ketelatenan dalam membina umat, serta ketabahan dalam menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Baik dai yang berdakwah di televisi dan panggung besar, maupun dai kampung yang menjadi khatib Jumat, pengisi kultum tarawih, atau pengajar ngaji di surau-surau desa, semuanya berhak mendapat penghargaan dan penghormatan dari umat.
Bentuk Penghargaan terhadap Dai
Menghargai seorang dai tidak harus selalu dengan kemewahan. Bentuk penghargaan bisa sangat beragam, mulai dari ucapan terima kasih yang tulus, bingkisan sederhana, hingga pemberian uang sebagai bentuk apresiasi terhadap waktu, tenaga, dan ilmu yang telah dicurahkan. Apresiasi ini bukan semata-mata soal materi, tetapi sebagai wujud nyata dari penghormatan kita terhadap dakwah dan ilmu agama.
Sayangnya, dalam kenyataan di lapangan, tidak jarang para dai—terutama di tingkat kampung atau desa—tidak mendapatkan bentuk penghargaan apa pun setelah mereka berdakwah. Bahkan, ironisnya, hal ini terjadi di bawah naungan lembaga umat seperti takmir masjid atau musholla yang seharusnya menjadi motor penggerak penghormatan terhadap dakwah. Ketika dai telah menjalankan tugasnya, namun tidak diberi bentuk penghargaan apa pun, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka hal ini patut disayangkan dan bisa dikategorikan sebagai tindakan kurang adil, bahkan dzalim secara moral.
Dai Tidak Menuntut, Tapi Umat Wajib Sadar
Memang benar bahwa seorang dai tidak berdakwah karena imbalan. Ia mengharap pahala dari Allah, bukan dari manusia. Namun, hal itu tidak boleh dijadikan alasan bagi umat untuk abai dalam menghormati dan memuliakan mereka. Seorang dai tidak menuntut, tapi umat seharusnya sadar. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud)
Artinya, bentuk penghargaan kita terhadap dai juga merupakan bagian dari rasa syukur kepada Allah atas nikmat ilmu dan bimbingan agama.
Solusi: Edukasi dan Profesionalisme Takmir
Solusi dari masalah ini bukan dengan saling menyalahkan, tetapi dengan saling mendidik dan membangun kesadaran kolektif. Takmir masjid dan musholla perlu dibekali pemahaman bahwa memuliakan juru dakwah adalah bagian dari amanah pengelolaan lembaga keagamaan. Perlu ada sistem yang lebih profesional dalam mengelola honorarium dan bentuk apresiasi terhadap para dai.
Para dai pun bisa turut memberikan edukasi secara santun dan bijak kepada takmir dan umat tentang pentingnya adab terhadap ilmu dan ulama. Semangat saling menasihati dan saling menghormati inilah yang menjadi ruh kebangkitan umat.
Penutup
Dakwah adalah jalan mulia yang harus dihormati. Dan menghormati para pelaku dakwah adalah kewajiban moral yang tidak boleh diabaikan. Baik dengan materi maupun non-materi, bentuk penghargaan kepada dai adalah wujud nyata dari cinta kita terhadap agama dan pengembannya. Semoga kita termasuk golongan yang menghormati ilmu, mencintai para dai, dan mendapat berkah dari dakwah yang mereka sampaikan.
By: Andik Irawan