Oleh: Andik Irawan
Miris rasanya menyaksikan fenomena yang cukup memprihatinkan di dunia pendidikan kita hari ini. Para siswa usia SMP atau MTs yang seharusnya sudah mulai menunjukkan kedewasaan dalam sikap, justru masih terjebak dalam pola perilaku yang kurang disiplin. Masuk ruang kelas dengan gaduh, pakaian tidak rapi, baju tidak dimasukkan, tidak menghargai guru, buku dan catatan yang tidak siap, PR yang tidak dikerjakan, hingga komunikasi yang kurang sopan kepada guru maupun teman sejawat, menjadi potret nyata yang kerap ditemukan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: Jika di usia SMP atau MTs belum terbentuk kedisiplinannya, apakah ini wujud kegagalan di tingkat SD atau TK-nya?
Pertanyaan ini bukan hanya bentuk kekhawatiran, tetapi juga cerminan dari kesimpulan sementara yang patut untuk dikaji lebih dalam. Untuk memahami hal ini, perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang:
1. Pendidikan Karakter adalah Proses Panjang Pembentukan karakter seperti disiplin, tanggung jawab, dan etika sosial dimulai sejak usia dini (TK), namun tidak berhenti di sana. Ini adalah proses yang berlangsung sepanjang perjalanan pendidikan anak. Maka, jika siswa SMP belum disiplin, bisa jadi ada kekosongan atau kelemahan dalam pembinaan karakter di jenjang sebelumnya. Namun, tidak adil jika sepenuhnya menyalahkan jenjang TK atau SD. Setiap jenjang pendidikan memegang tanggung jawab untuk menguatkan dan melanjutkan fondasi yang telah ditanamkan.
2. Peran Lingkungan dan Keluarga Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan respek sering kali dibentuk dan diperkuat dari rumah. Jika lingkungan keluarga tidak mendukung, kurang memberikan keteladanan, atau bahkan abai terhadap perkembangan anak, maka upaya sekolah akan menjadi tidak maksimal.
3. Budaya Sekolah yang Lemah Sering kali, kelemahan dalam penerapan aturan di sekolah menjadi penyebab merosotnya kedisiplinan siswa. Kurangnya konsistensi dalam pemberian sanksi, tidak adanya sistem penghargaan yang memotivasi, serta lemahnya pengawasan dapat membentuk budaya permisif di kalangan siswa. Sekolah harus menjadi tempat di mana nilai-nilai baik ditegakkan secara konsisten dan adil.
4. Tantangan Zaman dan Pengaruh Digital Kita hidup di era digital dengan segala kemudahannya, namun juga tantangan besar bagi perkembangan karakter anak. Gadget, media sosial, dan konten instan membuat banyak siswa kehilangan fokus, malas belajar, dan sulit membangun komunikasi yang sehat. Ini realita yang harus dihadapi dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kreatif dari para pendidik dan orang tua.
5. Refleksi dan Tanggung Jawab Bersama Kesimpulan bahwa kondisi ini adalah akibat dari kegagalan jenjang sebelumnya memang bisa diterima dalam batas tertentu. Namun, solusi tidak cukup dengan menyalahkan. Yang dibutuhkan adalah refleksi bersama: sekolah, orang tua, masyarakat, dan negara harus bahu-membahu membentuk generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara karakter.
Penutup Krisis kedisiplinan di usia SMP atau MTs bukanlah masalah sepele. Ini adalah alarm yang mengingatkan bahwa kita harus memperkuat pendidikan karakter di semua lini. Dengan sinergi antara rumah, sekolah, dan masyarakat, kita masih punya harapan untuk mencetak generasi muda yang berkualitas, berakhlak, dan bertanggung jawab.
Catatan: Artikel ini ditujukan sebagai bahan refleksi bagi para pendidik, orang tua, dan pemangku kepentingan pendidikan.
By: Andik Irawan