Ketika Amanah Lebih Berat dari Kemampuan: Sebuah Dilema Kepemimpinan yang Mengorbankan Masyarakat

Bagikan Keteman :


Dalam kehidupan sosial, amanah dan tanggung jawab adalah sesuatu yang harus ditunaikan dengan kesungguhan dan kemampuan. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit kita temui fenomena dilematik: seseorang diberi tanggung jawab besar, memikul jabatan strategis, namun tidak memiliki kapasitas memadai untuk menjalankannya.

Fenomena ini bukan hanya soal ketidaksiapan personal, tetapi berdampak langsung pada masyarakat luas—terutama ketika amanah itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan layanan publik, sumber daya desa, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan sebagainya.

Konteks Pedesaan: Dampak Semakin Terasa

Di kawasan pedesaan, sumber daya sangat terbatas. Jumlah SDM kompeten tidak sebanyak di kota, dan akses terhadap pendidikan, pelatihan, serta informasi juga minim. Ketika seseorang yang tidak kompeten diberi jabatan atau amanah penting—baik karena faktor kedekatan personal, kompromi politik, atau minimnya alternatif—maka seluruh warga desa menjadi pihak yang paling dirugikan.

Mereka adalah korban dari kebijakan yang salah arah, pelayanan yang amburadul, dan pengelolaan yang tidak profesional. Warga desa seakan menjadi “penanggung risiko” dari sistem yang tidak membangun kualitas dari hulu, tetapi hanya fokus pada penempatan jabatan.

Amanah Besar Butuh Kapasitas Besar

Dalam Islam, kepemimpinan dan amanah bukan hanya kehormatan, tetapi juga beban pertanggungjawaban yang berat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan pada hari kiamat akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang menunaikannya dengan benar dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.”
(HR. Muslim)

Hal ini menegaskan bahwa amanah tidak boleh diberikan sembarangan. Hanya mereka yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang layak memikul tanggung jawab tersebut. Memberikan amanah kepada yang tidak mampu bukan hanya kesalahan teknis, tapi pengkhianatan terhadap rakyat.

Fenomena Ini Bukan Sekadar Personal, Tapi Sistemik

Sering kali masyarakat menyalahkan individu yang tampak di depan—mereka yang memegang jabatan. Padahal seringkali masalahnya lebih dalam:

  1. Sistem pengangkatan atau pemilihan yang tidak berbasis kompetensi, tetapi berbasis popularitas, nepotisme, atau politik lokal.
  2. Kurangnya pembinaan dan pelatihan, sehingga pejabat yang dipilih tidak disiapkan untuk tugasnya.
  3. Budaya diam dan permisif dari masyarakat yang tidak berani atau tidak mampu mengkritik atau memperbaiki.
  4. Tidak adanya mekanisme evaluasi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan amanah tersebut.

Solusi: Reformasi dari Hulu ke Hilir

Untuk mencegah agar masyarakat tidak terus menjadi korban dari amanah yang salah kelola, beberapa langkah berikut perlu menjadi perhatian bersama:

  • Pentingnya kaderisasi dan pendidikan kepemimpinan di tingkat lokal agar masyarakat desa memiliki SDM yang siap pakai.
  • Mekanisme seleksi dan pengangkatan jabatan harus berbasis merit dan kapasitas, bukan kedekatan atau politik.
  • Peningkatan literasi masyarakat agar warga tahu hak-haknya dan bisa ikut mengawal proses kepemimpinan.
  • Evaluasi berkala dan transparan atas pelaksanaan amanah, agar ada ruang perbaikan dan kontrol publik.

Penutup: Amanah yang Tidak Sesuai Kapasitas Adalah Bencana Kolektif

Menerima amanah besar tanpa kemampuan yang cukup bukan hanya membahayakan posisi pribadi, tetapi merugikan banyak pihak, khususnya masyarakat yang bergantung pada pelayanan dan kebijakan publik. Di kawasan pedesaan, di mana sumber daya terbatas dan ketergantungan pada pemimpin sangat besar, kesalahan dalam memilih orang yang tidak kompeten bisa menjadi bencana kolektif.

Masyarakat yang sadar akan pentingnya kapasitas dalam kepemimpinan adalah kunci untuk membangun desa yang adil, sejahtera, dan berdaya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment