Dalam ajaran Islam, wakaf adalah salah satu amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Namun, agar wakaf sah dan dapat diterima di sisi Allah serta diakui secara hukum negara, ada syarat penting yang tidak boleh diabaikan: harta yang diwakafkan harus murni milik wakif, bebas dari segala bentuk sengketa dan keberatan.
Seringkali dalam praktiknya, muncul kasus di tengah masyarakat, seperti seorang ibu yang ingin mewakafkan sebidang tanah miliknya. Namun, saat proses wakaf berlangsung, salah satu anaknya mengajukan keberatan dan tidak setuju tanah tersebut diwakafkan. Bagaimana status tanah tersebut? Apakah wakafnya sah?
Mari kita telaah dengan cermat.
1. Prinsip Dasar Sahnya Wakaf
Dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sahnya wakaf bergantung pada beberapa hal mendasar, yaitu:
- Harta yang diwakafkan harus milik penuh wakif (orang yang berwakaf).
- Harta tersebut harus jelas status kepemilikannya dan bebas dari sengketa.
- Wakaf dilakukan sukarela, tanpa paksaan atau tekanan.
Artinya, jika ada sengketa atau keberatan yang belum terselesaikan, maka harta tersebut belum memenuhi syarat untuk diwakafkan.
2. Wakaf dalam Kasus Keberatan Ahli Waris
Dalam kasus seorang ibu mewakafkan tanah tetapi ada anak yang tidak setuju, ini membuka dua kemungkinan:
- Jika tanah itu masih dalam status harta bersama atau sudah menjadi bagian dari harta warisan (milik bersama ahli waris), maka ibu tidak lagi berhak sepenuhnya mewakafkannya tanpa persetujuan seluruh ahli waris.
- Jika tanah itu benar-benar masih atas nama pribadi ibu, namun ahli waris mengklaim ada ketidakjelasan (misal, karena status hibah, warisan, atau utang piutang), maka klaim itu tetap menggantungkan status wakaf.
Selama keberatan tersebut belum diselesaikan, baik melalui musyawarah keluarga, mediasi, ataupun proses pengadilan, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah bersengketa.
Dengan demikian, wakaf tidak sah secara agama maupun hukum positif sampai sengketa tersebut berakhir dan status kepemilikan menjadi jelas tanpa pertentangan.
3. Hikmah di Balik Ketentuan Ini
Ketentuan ini sesungguhnya bukanlah untuk mempersulit wakaf, melainkan untuk:
- Menjaga hak orang lain, terutama hak para ahli waris yang sah.
- Melindungi kesucian wakaf, agar tidak menjadi sumber perpecahan di kemudian hari.
- Mencegah kezaliman, karena mengambil atau mengalihkan harta tanpa kejelasan bisa termasuk tindakan zhalim.
Islam sangat menekankan bahwa kebaikan tidak boleh dibangun di atas ketidakadilan. Wakaf adalah amal mulia, maka fondasinya pun harus mulia: kejelasan, kerelaan, dan ketulusan dari semua pihak yang berhak.
4. Penutup
Mewakafkan harta adalah perbuatan luhur yang berpahala besar. Namun, kebaikan itu harus berjalan dalam koridor keadilan dan kejelasan hukum. Wakaf sebidang tanah akan sah hanya jika tanah tersebut sepenuhnya bebas dari sengketa, keberatan, dan klaim pihak lain.
Maka, dalam situasi di mana ada anak atau ahli waris yang tidak setuju atas wakaf yang dilakukan, status tanah tersebut harus dianggap bersengketa. Penyelesaian yang damai, adil, dan transparan adalah jalan terbaik sebelum wakaf dapat dilanjutkan.
Dengan demikian, wakaf yang dilakukan akan menjadi amal shalih yang tidak hanya berpahala di sisi Allah, tetapi juga membawa keberkahan, kedamaian, dan keharmonisan bagi keluarga dan masyarakat.
By: Andik Irawan