Pendahuluan
Wakaf adalah amal jariyah yang sangat mulia dalam Islam, karena pahalanya terus mengalir selama manfaat wakaf itu berlangsung. Namun, agar wakaf sah secara syar’i, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, terutama terkait kejelasan dan kepemilikan penuh atas harta yang diwakafkan.
Persoalan muncul ketika tanah yang akan diwakafkan ternyata berstatus sengketa atau masih diperdebatkan kepemilikannya. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sering terbelah: sebagian menganggap wakaf tersebut sah, sementara yang lain menolaknya. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum syar’i dalam kasus ini? Dan bagaimana masyarakat harus menyikapinya?
Syarat Sah Wakaf dalam Syariat Islam
Para ulama sepakat bahwa di antara syarat sahnya wakaf adalah:
- Kepemilikan penuh (al-milkiyyah at-tammah) oleh wakif atas harta yang diwakafkan.
- Harta tersebut bebas dari sengketa atau klaim pihak lain.
- Penyerahan wakaf dilakukan secara sukarela tanpa tekanan atau paksaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari hatinya.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Ini menunjukkan bahwa harta yang masih dalam status tidak jelas (seperti sengketa) tidak boleh dijadikan obyek transaksi keagamaan, termasuk wakaf.
Hukum Wakaf atas Tanah Sengketa
Jika sebidang tanah masih berstatus sengketa:
- Wakaf tidak sah secara hukum syar’i.
- Karena syarat kepemilikan penuh belum terpenuhi.
- Jika dipaksakan, maka wakaf tersebut batal, dan seluruh akad serta turunannya dianggap tidak sah.
Dasar kaidah fiqhiyah:
“Sesuatu yang dibangun atas kebatilan adalah batil pula.”
(Kaidah: maa buniya ‘ala al-bathil fahuwa bathil)
Dengan demikian, tanah yang statusnya belum pasti tidak boleh diwakafkan hingga persoalan hukumnya selesai.
Ketika Muncul Dua Pendapat di Masyarakat
Adakalanya muncul dua versi:
- Versi pertama, berpegang pada prinsip syar’i bahwa tanah sengketa tidak sah diwakafkan.
- Versi kedua, menolak status sengketa tersebut dan tetap mendorong proses wakaf.
Dalam Islam, jika terjadi ikhtilaf (perbedaan klaim tentang fakta), maka penyelesaiannya adalah:
- Membawa masalah ke lembaga peradilan syar’i atau pihak yang memiliki otoritas menyelesaikan sengketa.
- Meminta bukti (bayyinah) dari pihak yang mengklaim.
- Jika bukti tidak ada atau tidak kuat, maka hukum kembali kepada asal kepemilikan.
Kaidah penting:
“Bukti atas yang mengklaim, dan sumpah atas yang mengingkari.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika asal tanah memang bersih dan tidak ada bukti kuat yang membatalkan, maka wakaf dapat dilanjutkan. Namun, selama bukti persengketaan masih ada atau belum diputuskan, tindakan seperti wakaf harus dihentikan untuk menghindari kezaliman dan kerusakan di kemudian hari.
Dampak Sosial dan Anjuran Syariat
Memaksakan wakaf atas tanah sengketa bisa menimbulkan:
- Perpecahan dan fitnah di tengah masyarakat.
- Hilangnya kepercayaan terhadap lembaga wakaf dan nadzir.
- Kerugian pihak-pihak yang sebenarnya memiliki hak atas tanah tersebut.
Syariat Islam mengajarkan:
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.”
(Kaidah: dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih)
Artinya, lebih baik menahan diri untuk tidak berwakaf sementara waktu daripada memaksakan wakaf yang bisa menimbulkan kerusakan lebih besar.
Solusi Praktis
- Hentikan sementara proses wakaf hingga status tanah benar-benar jelas secara hukum.
- Tempuh jalur damai: Upayakan musyawarah dan kesepakatan damai antara pihak-pihak yang bersengketa.
- Minta fatwa tertulis dari lembaga fatwa atau ulama terpercaya.
- Bawa ke lembaga hukum syar’i (peradilan agama) jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan.
- Sosialisasikan hasil keputusan kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Penutup
Wakaf adalah ibadah besar yang harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kejelasan. Mewakafkan tanah yang masih sengketa tanpa menyelesaikan status hukumnya dapat membatalkan nilai ibadah itu sendiri dan menimbulkan kerusakan sosial.
Oleh karena itu, dalam menghadapi tanah sengketa, yang terbaik adalah menahan diri, menyelesaikan masalah secara adil, dan memastikan bahwa wakaf dilakukan atas dasar kepemilikan penuh dan tanpa keraguan.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua dalam menjaga keabsahan ibadah-ibadah kita, termasuk dalam urusan wakaf.
By: Andik Irawan