Wakaf Tanah Milik Pribadi dan Penolakan Anak: Tinjauan Hukum Syar’i

Bagikan Keteman :


Pendahuluan

Wakaf merupakan amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Namun dalam praktiknya, sering terjadi persoalan di masyarakat, terutama ketika seseorang ingin mewakafkan tanah miliknya, tetapi sebagian ahli waris—seperti anak-anaknya—menolak atau tidak setuju.

Bagaimana hukum wakaf tersebut menurut syariat Islam? Apakah persetujuan anak-anak diperlukan untuk sahnya wakaf? Artikel ini akan membahasnya dengan jelas berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam.


Syarat Sah Wakaf: Kepemilikan Penuh

Dalam hukum Islam, salah satu syarat sah wakaf adalah:

  • Harta yang diwakafkan harus merupakan milik penuh (al-milkiyyah at-tammah) dari orang yang berwakaf (wakif).
  • Wakaf harus dilakukan atas dasar kehendak sendiri, tanpa paksaan, dan tanpa melanggar hak orang lain.

Dalil syar’i yang mendasarinya:

“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari hatinya.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dengan demikian, seseorang yang memiliki harta secara sah berhak untuk:

  • Menjual
  • Menghibahkan
  • Mewakafkan tanpa perlu persetujuan dari pihak lain, termasuk anak-anaknya.

Kasus: Anak-Anak Menolak Wakaf Ibu

Terdapat dua kemungkinan dalam kasus seperti ini:

1. Tanah Milik Pribadi Sang Ibu

Jika tanah tersebut:

  • Sudah tercatat resmi atas nama ibu.
  • Bukan hasil warisan yang belum dibagi.
  • Bukan milik bersama dengan anak-anaknya.

Maka:

  • Sang ibu berhak penuh untuk mewakafkan tanah tersebut.
  • Penolakan anak-anak tidak mempengaruhi keabsahan wakaf.
  • Wakaf tetap sah dan diterima di sisi Allah, insyaAllah.

Karena tanah tersebut adalah hak ibu sepenuhnya, maka penggunaan harta itu untuk berwakaf adalah hak pribadi beliau.


2. Tanah Bagian dari Harta Warisan

Jika tanah itu:

  • Sebenarnya adalah harta warisan dari suami (ayah mereka) yang belum dibagi secara syar’i.
  • Dimiliki bersama antara ibu dan anak-anak sebagai ahli waris.

Maka:

  • Sang ibu hanya berhak atas bagian warisan yang menjadi haknya (misalnya 1/8 dari seluruh tanah).
  • Beliau tidak boleh mewakafkan bagian tanah yang menjadi hak anak-anak tanpa izin mereka.
  • Jika tetap mewakafkan keseluruhan tanpa persetujuan, maka wakaf untuk bagian yang bukan miliknya adalah tidak sah.

Kaedah fiqhiyah mengatakan:

“Seseorang tidak berhak menggunakan harta orang lain tanpa izin.”


Pentingnya Klarifikasi Kepemilikan

Dalam kasus seperti ini, sangat penting untuk memastikan:

  • Status kepemilikan tanah secara legal dan syar’i.
  • Apakah sudah bersertifikat atas nama pribadi?
  • Ataukah masih warisan yang belum ditentukan bagiannya?

Jika status tanah sudah jelas, maka tindakan wakaf dapat dilaksanakan tanpa keraguan.


Adab dalam Berwakaf

Meskipun dari sisi hukum ibu boleh berwakaf tanpa izin anak, namun dari sisi hikmah dan adab Islam, sebaiknya:

  • Sang ibu memberitahukan niat wakaf kepada anak-anaknya.
  • Mengajak mereka memahami keutamaan wakaf.
  • Menghindari konflik keluarga yang bisa menghilangkan keberkahan amal wakaf.

Allah Ta’ala berfirman:

“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)


Kesimpulan

Dengan demikian, hukum wakaf kembali kepada prinsip utama: kepemilikan penuh. Penolakan anak-anak tidak membatalkan wakaf jika ibu benar-benar pemilik sah tanah tersebut.

Namun, memperhatikan aspek maslahat keluarga dan menjaga silaturahmi tetap dianjurkan dalam setiap langkah amal, agar wakaf membawa keberkahan dunia dan akhirat.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment