Di setiap komunitas, di setiap desa terpencil sekalipun, Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia tanpa pelita.
Selalu ada satu dua sosok — kadang tersembunyi, kadang tak dikenal luas — yang diam-diam memikul tugas berat: membimbing umat kepada kebenaran.
Sosok ini bukan sembarang orang.
Ia dipilih bukan karena gelar, bukan karena keturunan, bukan pula karena ambisinya.
Ia dipilih karena kebeningan hatinya, kekuatan imannya, dan kepolosan jiwanya.
Antara Kekuatan dan Keluguan
Seorang figur pilihan Tuhan memiliki ciri-ciri yang luar biasa:
- Imannya kokoh seperti gunung yang tak bergeser diterpa badai zaman.
- Ia menyimpan dalam dadanya ilmu dan petunjuk agama yang hidup.
- Ia sangat peka terhadap pelanggaran syariat, bukan karena suka menghakimi, melainkan karena hatinya teramat bersih untuk membiarkan dosa merajalela.
Tetapi, bersamaan dengan kekuatan itu, ia tetap polos.
- Sederhana dalam berbicara.
- Tulus dalam bergaul.
- Tidak berpura-pura menjadi orang hebat.
Keluguan ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kesucian.
Seperti bunga yang tumbuh liar di padang rumput, indah tanpa pernah bermaksud dipuji.
Mengapa Kepolosan Itu Penting?
Karena hanya hati yang polos dan bersih yang bisa benar-benar memancarkan cahaya ketulusan.
Jika seorang tokoh kehilangan keluguan, bisa jadi ia tergelincir pada kecintaan terhadap dunia, terhadap pujian, terhadap pengaruh.
Sedangkan figur pilihan Tuhan, ia tetap murni.
Segala amalnya hanya untuk mencari ridha Allah, bukan untuk mengejar penghormatan manusia.
Allah berfirman:
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Kisah Fiksi: Lentera dari Desa Senja
Di sebuah desa kecil bernama Senja, hidup seorang pemuda bernama Amir.
Amir bukan anak kiai besar, bukan pula lulusan pesantren terkenal.
Sejak kecil, ia hanya berguru kepada ayahnya yang sederhana — belajar membaca Al-Qur’an, belajar adab, belajar shalat dengan benar.
Amir dikenal pendiam.
Ia bukan yang paling pintar berbicara. Ia juga bukan yang suka tampil.
Tetapi satu hal yang membuatnya berbeda: ia sangat menjaga shalatnya dan sangat takut melanggar perintah Allah.
Suatu hari, badai besar menimpa desa Senja.
Banyak tokoh masyarakat yang dulu dihormati mulai bertikai, berebut jabatan, lupa pada akhlaq.
Warga mulai bingung, mencari sosok yang bisa mereka jadikan tempat bertanya.
Anehnya, semakin ribut dunia di sekitarnya, Amir tetap tenang.
Ia tetap ke masjid lima waktu, tetap membantu tetangga, tetap jujur dalam berdagang.
Tanpa sadar, satu demi satu warga mulai mendatanginya.
- Ada yang meminta nasihat soal rumah tangga.
- Ada yang bertanya tentang hukum halal dan haram.
- Ada pula yang hanya ingin duduk bersamanya, merasakan ketenangan yang terpancar dari dirinya.
Amir tidak pernah mengaku dirinya ustaz.
Ia tidak pernah berdiri di mimbar.
Ia hanya mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang ia tahu, lalu menambahkan,
“Saya pun masih belajar, mari kita sama-sama memperbaiki diri.”
Namun justru karena ketulusannya, masyarakat Senja merasa hatinya terang kembali.
Dalam diam, Tuhan telah menjadikan Amir sebagai lentera untuk desanya.
Penutup: Menjadi Bagian dari Cahaya Itu
Pelajaran dari kisah ini jelas:
- Tuhan memilih siapa yang Dia kehendaki, tanpa harus melalui jalur yang dipikirkan manusia.
- Kekuatan iman dan keluguan hati adalah dua sayap penting untuk menjadi pelita bagi umat.
- Dan tugas kita semua adalah menjaga hati, terus berusaha jujur dan tulus dalam beramal, tanpa perlu mengejar pengakuan manusia.
Karena suatu saat, tanpa kita sadari, Tuhan mungkin saja menjadikan kita bagian dari pelita itu —
seperti Amir di Desa Senja,
seperti para figur pilihan yang tak pernah mengejar sorotan, tapi justru menjadi pusat cahaya bagi sekitarnya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Mari kita jaga hati, mari kita jaga keikhlasan, agar suatu hari, jika Tuhan berkenan, kita pun bisa menjadi lentera kecil dalam gelapnya dunia.
By: Andik Irawan