Ketika Hilangnya Rasa Malu Menjadi Tradisi: Bagaimana Keluar dari Petaka Sosial Ini?

Bagikan Keteman :


Dalam banyak kawasan, terutama di tingkat desa atau komunitas kecil, kita menyaksikan sebuah fenomena yang menyedihkan:
Hilangnya rasa malu dalam kepemimpinan dan kehidupan sosial tidak lagi dianggap aib, melainkan telah menjadi kebiasaan lazim, bahkan menyerupai tradisi yang diwariskan.

Fenomena ini bukan lagi sekadar masalah individu, melainkan telah menjadi penyakit masyarakat (amradh ijtima’iyyah).
Organisasi-organisasi berjalan tanpa semangat, amanah-amanah diabaikan, jabatan-jabatan diperebutkan bukan untuk melayani, melainkan untuk kebanggaan semu.

Bagaimana bisa keluar dari petaka besar ini?

1. Membangun Kesadaran di Kalangan Kecil

Perubahan besar tidak dimulai dari semua orang sekaligus.
Harus ada segelintir orang — kecil namun kokoh — yang sadar dan peduli.
Mereka adalah orang-orang yang masih memiliki rasa malu, merasa pedih melihat kondisi masyarakat, dan berani mengambil langkah perubahan, sekecil apapun.

Mereka inilah yang menjadi inti perlawanan terhadap tradisi rusak.

2. Memberikan Keteladanan Nyata

Masyarakat lebih banyak belajar dari contoh daripada dari teori.
Maka, keteladanan adalah kunci.
Satu tokoh yang benar-benar amanah, malu berbuat salah, dan sungguh-sungguh dalam tugasnya, nilainya lebih besar daripada seribu nasihat kosong.

Keteladanan ini akan menjadi cermin yang perlahan menggugah hati masyarakat.

3. Menghidupkan Pendidikan Adab

Dalam komunitas yang sudah kehilangan malu, harus dihidupkan kembali pendidikan tentang adab, amanah, rasa malu kepada Allah, dan rasa malu kepada manusia.

Ini harus dilakukan melalui berbagai saluran:

  • Majelis taklim
  • Sekolah-sekolah
  • Forum-forum masyarakat
  • Pesantren dan masjid

Pendidikan ini tidak cukup dalam bentuk teori; ia harus dibiasakan dalam perilaku nyata dan diberikan penghargaan kepada yang mampu menjalankannya.

4. Membangun Budaya Saling Menasehati

Salah satu sebab penyakit ini membusuk adalah karena budaya diam:
Melihat keburukan tetapi membiarkan, tidak mau menegur.

Harus dibangun budaya nasehat dengan hikmah — saling mengingatkan tanpa kasar, namun dengan keberanian dan kejujuran.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Agama itu adalah nasehat.”
(HR. Muslim)

5. Menciptakan Sistem Sosial yang Menghargai Akhlak

Ketika masyarakat memilih pemimpin, maka yang dinilai bukan hanya popularitas atau kedekatan politik, tetapi rekam jejak adab, rasa malu, dan tanggung jawabnya.

Sistem sosial harus berpihak kepada orang-orang yang amanah, bukan kepada mereka yang hanya pandai berpura-pura.

Penutup

Keluar dari petaka sosial ini memang bukan pekerjaan ringan.
Namun sejarah mengajarkan kita:
Perubahan besar selalu dimulai dari minoritas yang jujur dan sungguh-sungguh.
Mereka yang berani malu kepada Allah, malu kepada manusia, dan malu kepada diri sendiri jika membiarkan keburukan terus berkuasa.

Maka, siapapun kita — sekecil apapun posisi kita — mari mulai dari diri sendiri.
Hidupkan kembali rasa malu. Jadilah bagian dari mata rantai perubahan.
Karena perubahan besar selalu diawali oleh satu langkah kecil yang penuh keberanian.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment