Dalam sejarah umat Islam, sesepuh agama selalu memegang peranan penting dalam menjaga akidah, akhlak, dan tatanan sosial masyarakat.
Mereka adalah pelita yang menerangi jalan, membimbing umat dari kegelapan menuju cahaya kebenaran.
Namun, sebuah tragedi moral terjadi ketika para sesepuh agama — yang seharusnya menjadi benteng umat — justru diam melihat kemungkaran besar seperti riba merebak tanpa kendali.
Bagaimana bisa?
Mengapa mereka memilih diam?
Apa dampak diamnya mereka bagi masa depan umat?
Mari kita renungkan lebih dalam.
Riba: Dosa Besar yang Diperangi Allah
Islam telah dengan tegas mengharamkan riba.
Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah tidak sekadar melarang, tetapi juga mengumumkan perang terhadap pelaku riba.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
(QS. Al-Baqarah: 278–279)
Riba bukan hanya dosa pribadi, tetapi dosa yang menghancurkan tatanan sosial: memperbudak si miskin, memperkaya si kuat, dan meruntuhkan keberkahan.
Ketika Sesepuh Agama Diam: Sebuah Kesedihan Besar
Melihat lembaga umum — bahkan lembaga agama — berlomba mengembangkan dana melalui praktik pinjam-meminjam berbunga tanpa ada teguran dari para sesepuh, sungguh sebuah pemandangan yang memilukan.
Diamnya sesepuh agama terhadap maraknya riba bisa dimaknai dalam beberapa cara:
1. Hilangan Rasa Tanggung Jawab
Sebagian sesepuh mungkin telah kehilangan kesadaran bahwa mereka memegang amanah besar:
Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu maka dengan hati, dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Jika sesepuh agama justru memilih diam, maka umat dibiarkan berjalan menuju jurang kehancuran tanpa bimbingan.
2. Takut Kehilangan Kenyamanan Duniawi
Ada kalanya rasa takut kehilangan jabatan, pengaruh, atau kenyamanan membuat seorang tokoh lebih memilih diam.
Padahal Allah mengingatkan:
“Mereka takut kepada manusia, padahal mereka lebih berhak untuk takut kepada Allah.”
(QS. Al-Ahzab: 37)
Diam demi mempertahankan posisi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah.
3. Ketidaktahuan dan Minimnya Ilmu Muamalah
Sebagian sesepuh hanya mendalami ilmu ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan dzikir, tanpa memperluas wawasan tentang fiqh muamalah.
Akibatnya, mereka tidak paham betapa besarnya dosa riba dan bagaimana dampak destruktifnya terhadap umat.
Padahal, membekali diri dengan ilmu syariah yang luas adalah kewajiban seorang da’i.
4. Terjebak dalam Sistem Riba
Lebih mengerikan lagi, ada kemungkinan sesepuh sendiri telah menikmati hasil dari praktik riba yang berkembang.
Bagaimana mungkin seseorang mengingatkan orang lain tentang bahaya api, sementara ia sendiri duduk nyaman di dekatnya?
Jika ini yang terjadi, maka yang rusak bukan hanya umat, tetapi juga marwah keulamaan itu sendiri.
Akibat Diamnya Para Sesepuh Agama
- Riba menjadi budaya yang dianggap biasa.
- Masyarakat hidup dalam lilitan utang yang memberatkan.
- Keberkahan dicabut dari tanah, usaha, dan rezeki.
- Generasi muda kehilangan contoh tentang keberanian menegakkan kebenaran.
Rasulullah SAW pernah memperingatkan:
“Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran tetapi tidak mengubahnya, hampir saja Allah menimpakan azab kepada mereka semua.”
(HR. Abu Dawud)
Apa yang Harus Dilakukan?
Kita tidak boleh hanya mengeluh.
Kita harus bangkit:
- Mengajak sesepuh agama untuk kembali kepada tugas sucinya: menjadi penjaga umat, bukan penjaga kursi.
- Mendidik masyarakat tentang bahaya riba melalui majelis ilmu, khutbah, dan diskusi terbuka.
- Mendorong lahirnya generasi ulama baru yang berani, berilmu, dan ikhlas.
Dan yang terpenting, kita semua — siapapun kita — harus merasa punya tanggung jawab untuk menyelamatkan diri dan lingkungan dari dosa riba, sekecil apapun usaha itu.
Penutup: Mari Kembalikan Cahaya Dakwah di Desa Kita
Diamnya para sesepuh terhadap maraknya riba adalah kegelapan.
Tetapi kegelapan sekecil apapun akan terusir dengan cahaya, sekecil apapun cahaya itu.
Jangan menunggu semua orang berubah.
Mulailah dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan terdekat.
Katakan kebenaran dengan santun, berdoa dengan sungguh-sungguh, dan bertindak dengan bijaksana.
“Katakanlah kebenaran, meskipun pahit.”
(HR. Ibnu Hibban)
Semoga Allah menjaga kita dari dosa riba, membangkitkan keberanian dalam hati para pemimpin agama, dan mengaruniakan kepada desa-desa kita kehidupan yang diberkahi.
Mari bersuara, mari bergerak, mari kembali menegakkan kebenaran.
By: Andik Irawan