Di era yang semakin cair batas antara benar dan salah, muncul satu pandangan keliru yang kerap digaungkan: bahwa seorang pemimpin sebaiknya tidak terlalu religius agar terlihat netral, bisa diterima semua kalangan, dan tak merasa canggung saat mendampingi masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama. Pandangan ini terdengar inklusif, tapi sejatinya adalah kesalahan berpikir yang serius. Bahkan, bisa dikatakan sebagai bentuk kebodohan intelektual yang membahayakan arah kepemimpinan.
Religiusitas Bukan Penghalang, Justru Kompas Kepemimpinan
Menjadi religius bukan berarti eksklusif, tertutup, apalagi antisosial. Justru religiusitas adalah fondasi moral yang menjadi penuntun dalam setiap langkah dan keputusan. Pemimpin yang beriman tidak akan memimpin berdasarkan nafsu mayoritas, tapi berdasarkan nilai yang benar. Ia tahu bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan — bukan hanya di dunia, tetapi juga di hadapan Tuhan.
Religiusitas yang benar bukan soal simbol atau ritual semata, melainkan tentang keteguhan prinsip, kejernihan nurani, dan keberanian bersikap saat kebenaran diuji. Inilah yang membuat seorang pemimpin tidak mudah hanyut dalam arus opini publik yang menyesatkan.
Membaur Tanpa Larut, Mendampingi Tanpa Ikut Terjerumus
Tugas pemimpin memang menjangkau semua lapisan masyarakat — termasuk mereka yang jauh dari nilai-nilai kebaikan. Namun, mendampingi bukan berarti ikut-ikutan. Membaur bukan berarti larut. Pemimpin religius justru hadir untuk menjadi penerang, penunjuk arah, bukan cermin yang memantulkan kesesatan publik demi meraih simpati.
Seorang pemimpin yang malu menunjukkan jati diri agamanya demi diterima oleh pelaku kemaksiatan, adalah pemimpin yang sedang kehilangan arah. Ia bukan sedang menunjukkan toleransi, tapi sedang menggadaikan prinsipnya. Dan ketika prinsip hilang, maka hilang pula wibawa kepemimpinan.
Netralitas Tidak Berarti Kehilangan Kompas Moral
Netral bukan berarti mematikan nilai. Netral bukan berarti mendiamkan penyimpangan. Seorang pemimpin harus mampu bersikap adil, tapi keadilan yang sejati lahir dari nilai yang benar — bukan dari kompromi tanpa batas. Pemimpin yang berusaha menyenangkan semua pihak tanpa panduan moral hanyalah pemimpin lemah yang akan mudah diombang-ambingkan opini publik, diseret oleh arus keinginan massa, hingga akhirnya terjatuh ke jurang kehancuran.
Penutup: Pemimpin Harus Tegar, Bukan Populis Buta
Dunia hari ini tidak kekurangan pemimpin yang pandai mengambil hati rakyat. Tapi terlalu sedikit yang berani mengambil sikap demi menyelamatkan mereka. Pemimpin sejati tidak takut tidak disukai. Ia takut kehilangan kebenaran. Ia takut pada hisab di hadapan Tuhan, bukan pada komentar tajam di hadapan manusia.
Oleh sebab itu, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang teguh dalam prinsip, jujur dalam nurani, dan tidak ragu berdiri di atas nilai-nilai agama. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk membimbing. Bukan untuk menjauhkan diri dari rakyat, tapi untuk menyelamatkan mereka — dengan penuh hikmah, kasih sayang, dan keberanian.
By: Andik Irawan