Pendahuluan
Menjadi tokoh agama bukan hanya soal kemampuan menyampaikan dakwah atau mengajarkan hukum syariat. Di balik jubah kesalehannya, sering tersembunyi luka-luka batin yang dalam, terutama ketika ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit: masyarakat yang ia cintai justru dengan sadar dan terang-terangan menjauh dari nilai-nilai agama yang ia perjuangkan seumur hidup.
Lebih memilukan lagi, ketika penyimpangan itu seolah dibiarkan bahkan didukung oleh pemimpin setempat, membuat sang tokoh agama merasa tak hanya sendiri, tapi seolah diasingkan di tanah kelahirannya sendiri.
Keteguhan di Tengah Arus Deras Penyimpangan
Dalam setiap zaman, selalu ada segelintir orang yang memilih tetap teguh menjaga nilai, walau mayoritas berbalik arah. Tokoh agama seperti ini ibarat pelita kecil dalam lorong gelap, menerangi meski diterpa angin. Ia tahu bahwa kebenaran adalah warisan suci yang tak boleh dikompromikan.
Namun realitas sering kali tak berpihak padanya. Ia melihat langsung bagaimana:
- Pergaulan bebas dianggap lumrah,
- Ucapan kotor menjadi hiburan,
- Kegiatan keagamaan diabaikan,
- Dan tradisi kearifan lokal yang berbasis nilai-nilai ilahi perlahan digantikan oleh budaya konsumerisme dan hedonisme.
Ia ingin menegur, tapi takut kehilangan pengaruh. Ia ingin mengingatkan, tapi khawatir dianggap kolot. Maka yang tersisa hanyalah kesedihan mendalam dalam diam.
Luka Paling Menyakitkan: Ketika Pemimpin Tidak Lagi Menjadi Teladan
Pemimpin desa atau tokoh masyarakat semestinya menjadi teladan nilai. Namun betapa pedih hati sang tokoh agama ketika justru mereka:
- Membiarkan bahkan menyuburkan pelanggaran norma agama,
- Menutup telinga dari nasihat ulama,
- Bahkan memusuhi dakwah dengan alasan menjaga “kerukunan” atau “modernisasi”.
Situasi ini menciptakan ironi moral yang menyayat hati. Ketika peran pemimpin tidak lagi menjadi penuntun, maka masyarakat kehilangan arah, dan perjuangan tokoh agama menjadi seperti berteriak dalam ruang hampa.
Kesedihan yang Mulia: Jejak Para Nabi dan Orang-Orang Saleh
Namun di sinilah letak kemuliaan perjuangan tokoh agama. Ia sedang menghidupkan kembali jejak para nabi:
- Seperti Nabi Nuh yang berdakwah ratusan tahun, hanya sedikit yang mengikuti.
- Seperti Nabi Ibrahim yang diasingkan oleh kaumnya sendiri.
- Seperti Rasulullah SAW yang dihina dan diusir dari tanah kelahirannya.
Mereka semua pernah merasakan kesedihan batin yang sama. Tapi mereka tetap tegar, karena mereka tahu: Tugas mereka bukan mengubah hati manusia, melainkan menyampaikan kebenaran dengan sabar, hikmah, dan kasih sayang.
Harapan Tak Pernah Mati
Meski perih, sang tokoh agama tetap melangkah. Ia memilih untuk:
- Tetap menjadi teladan akhlak di tengah cemooh,
- Terus menyampaikan kebenaran walau hanya pada segelintir orang,
- Berdoa di sepertiga malam, berharap Allah membukakan hati kaumnya.
Ia percaya bahwa kebaikan sekecil apa pun tidak pernah sia-sia. Barangkali bukan hari ini ia melihat perubahan, tapi kelak, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.
Penutup: Kesendirian yang Bernilai di Sisi Allah
Derita batin sang tokoh agama bukanlah tanda kelemahan. Justru itu adalah bukti cinta dan tanggung jawabnya terhadap umat. Ia mungkin tidak dipuji manusia, tapi ia dicintai oleh langit. Ia mungkin kesepian di bumi, tapi ia ditemani oleh doa para malaikat.
Maka, ketika zaman bergerak menjauh dari nilai, para penjaga nilai seperti dialah harapan terakhir. Meski diam, meski sendiri, mereka adalah penjaga cahaya peradaban.
By: Andik Irawan