Bagi seorang Muslim yang berusaha taat kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya bukan sekadar kewajiban, melainkan juga sumber ketenangan jiwa. Namun, di tengah realitas sosial, sering kali kita berhadapan dengan kondisi yang membuat hati merasa terusik: kita melihat sesama Muslim, bahkan kawan dekat atau kolega kerja, melakukan perbuatan yang jelas-jelas melanggar aturan Allah—seperti praktik riba, suap, kebohongan, atau perbuatan maksiat lainnya.
Secara naluriah, hati yang masih hidup akan merasa sedih, kecewa, dan bahkan muncul rasa tidak cocok hingga enggan bergaul terlalu dekat. Timbul dilema: di satu sisi, mereka adalah bagian dari lingkungan kita, teman, bahkan mungkin saudara; namun di sisi lain, perbuatan mereka membuat hati merasa jauh.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?
1. Benci Perbuatan, Bukan Pelaku
Islam mengajarkan untuk membenci kemaksiatan, bukan membenci pelakunya secara total. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, siapa tahu suatu saat ia menjadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekadarnya saja, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu.”
(HR. Tirmidzi)
Mereka yang hari ini terjerumus dalam dosa, bisa saja suatu hari menjadi orang yang sangat dekat dengan Allah. Maka jangan tutup pintu hubungan sepenuhnya, karena bisa jadi Anda adalah jalan hidayah bagi mereka.
2. Menjadi Penyeimbang, Bukan Ikut Larut
Kadang, Allah menempatkan orang-orang yang beriman di lingkungan yang buruk bukan untuk ikut rusak, tapi untuk menjadi pengingat dan pelita di tengah kegelapan. Kita tetap bisa bersikap profesional, adil, dan baik, tanpa harus mencampurkan diri dengan keburukan.
3. Memilih Jarak Secara Bijak
Menjaga jarak bukanlah dosa. Jika hati terasa tidak nyaman karena keimanan, maka mengambil jarak hati itu boleh dan sehat. Namun, bukan berarti memutus silaturahmi atau bersikap sombong. Pilihlah ruang aman untuk menjaga diri, sambil tetap menunjukkan akhlak mulia.
4. Waspadai Ujub dan Kesombongan Hati
Saat kita merasa lebih baik karena taat, ada bahaya ujub (bangga diri) yang menyelinap. Jangan sampai kepekaan terhadap dosa orang lain membuat kita lupa bercermin. Kesombongan spiritual bisa menjadi dosa tersendiri yang menghapus pahala kebaikan.
5. Teladani Rasulullah
Rasulullah SAW hidup di tengah masyarakat yang dipenuhi syirik, riba, zina, dan berbagai kemungkaran. Namun beliau tetap menjadi rahmat bagi alam semesta. Beliau tidak serta-merta memutus hubungan sosial, melainkan berdakwah dengan kasih, sabar, dan keteladanan.
Penutup
Dilema ini adalah ujian keimanan. Menjaga prinsip di tengah lingkungan yang tidak ideal adalah bagian dari jihad hati. Pilihannya bukan antara “dekat dan larut” atau “jauh dan memutus”, melainkan menjadi pengaruh yang baik sambil menjaga diri. Semoga Allah meneguhkan hati kita dan menjadikan kita wasilah hidayah bagi orang lain.
By: Andik Irawan