Ketika Hati Seorang Mukmin Terluka: Syariat Dilecehkan, Hati Menangis

Bagikan Keteman :


Dalam perjalanan hidup seorang mukmin yang mencintai syariat Allah, akan datang masa-masa yang sangat melukai jiwa—yakni saat melihat hukum-hukum Allah diremehkan, dipermainkan, bahkan dihina secara terang-terangan. Lebih menyayat hati lagi jika pelecehan itu datang dari sesama Muslim, terlebih mereka yang dikenal sebagai tokoh atau pemuka umat.

Betapa perihnya ketika seorang Muslim mengusulkan agar kehidupan kembali diatur dengan syariat Allah, namun malah disambut dengan cibiran: “Sok suci,” “terlalu syar’i,” atau “fanatik berlebihan.” Hati yang hidup tak mungkin tak tersentak, bahkan terasa ingin menangis.

Luka Karena Iman, Bukan Karena Ego

Kesedihan itu bukan karena harga diri pribadi, melainkan karena cinta kepada Allah dan agama-Nya. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Maka jika kita tak mampu mencegah, dan hanya bisa menangis dalam hati—itu bukan kelemahan, tapi tanda bahwa iman masih hidup.

Tragedi Terbesar: Ketika Pemuka Umat Justru Melanggar

Jika pelanggaran dilakukan oleh orang awam, kita masih bisa maklum karena keterbatasan ilmu. Tapi ketika pelakunya adalah para pemuka umat—tokoh publik, pemimpin lembaga, bahkan mereka yang dikenal sebagai ulama—maka luka itu jauh lebih dalam.

Melihat mereka terlibat dalam praktik riba, suap, atau menyalahgunakan amanah agama untuk kepentingan dunia, membuat hati terasa remuk. Rasulullah SAW telah mengingatkan:

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.”
(HR. Ahmad)

Karena kesesatan tokoh akan menyeret banyak pengikutnya ke jalan yang sama.

Hati Pilu, Tapi Mulut Terkunci

Kadang kita hanya bisa diam. Tidak punya kuasa untuk bicara. Dan jika berbicara pun, sering kali hanya akan dianggap pembangkang atau perusak persatuan. Maka satu-satunya tempat kita mengadu hanyalah kepada Allah. Biarlah air mata mengalir dalam doa, karena Allah mendengar jeritan yang tidak terucap.

Tetap Menjaga Harapan dan Jalan yang Lurus

Meskipun dunia tampak kelam, kita tidak boleh ikut larut. Kita tetap harus menjaga diri, keluarga, dan lingkungan kecil dari arus pelalaian. Kita mungkin tidak mampu mengubah umat secara luas, tapi kita bisa tetap menjadi cahaya kecil yang istiqamah di tengah kegelapan.

Berbahagialah jika kesedihan kita lahir dari kepedulian terhadap agama. Itu berarti hati kita belum mati. Allah berfirman:

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya hati itu hidup dengan mengingat Allah.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Penutup: Tangisan Seorang Mukmin Tidak Sia-Sia

Tangisan kita karena Allah tidak akan sia-sia. Mungkin tidak ada yang mendengar di dunia, tapi langit mencatat, dan Allah pasti membalas. Maka jangan biarkan hati kita ikut mati di tengah zaman yang membiarkan syariat diinjak-injak.

Jika tak bisa mengubah dengan tangan, maka ubahlah dengan doa dan keteladanan. Jika tak bisa bersuara, tetaplah menjadi lentera yang diam namun menerangi. Karena mungkin, justru dari kesedihan inilah, Allah datangkan perubahan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment