Melangkah dengan Satu Kaki – Kala Logika Menyerah, Spiritualitas Berdiri Hidupku yang kedua dimulai setelah satu tahun penuh aku jatuh dalam ujian yang begitu berat—sakit yang menyiksa lahir dan batin. Satu tahun aku berada di titik paling rendah dalam hidup. Saat tubuh tak kuasa berdiri, pikiran pun tak mampu melompat jauh ke masa depan. Semua kabur. Semua sunyi. Tapi dalam kejatuhan itu, ada satu cahaya kecil yang tak pernah padam: keyakinan bahwa Tuhan belum selesai denganku. Setelah sakit itu berakhir, aku seperti terlahir kembali. Meski tubuh masih belum sekuat dulu,…
Read MoreKategori: Berita
Ketika Cinta Bertemu Takdir
Ketika Cinta Bertemu Takdir Cinta seringkali datang tidak dengan gempita. Tidak dengan kembang api atau lagu-lagu romantis. Kadang ia datang diam-diam, mengendap seperti embun di pagi hari—nyaris tak terlihat tapi memberi kesejukan yang nyata. Begitulah kisahku dimulai. Sekitar tiga bulan lamanya aku bersahabat dengan seorang gadis. Bukan persahabatan yang dibumbui rayuan atau gombalan sebagaimana lazimnya anak muda. Persahabatan kami murni, tulus, ringan—dilandasi semangat saling membantu. Kadang aku mengantarnya ke toko buku, kadang ke kantor-kantor kampus untuk mengurus tugas-tugasnya. Tak lebih dari itu. Tapi seperti jalan landai yang tampaknya tenang tapi…
Read MoreMalam Penuh Nyeri, Malam Penuh Ridha
Sore itu, langit menjelang Maghrib mulai merunduk kelabu. Di luar kamar, suara azan menggema dari masjid kecil dekat rumah. Tapi di dalam kamarku yang terkunci rapat, dunia terasa lain. Ada pertempuran yang sedang berlangsung. Bukan perang antar manusia, tapi pertempuran antara rasa sakit dan kekuatan jiwa. Entah apa yang sedang terjadi dengan tubuhku. Entah sakit apa yang sebenarnya tengah menggerogoti. Tapi yang jelas, rasa nyeri itu hadir dengan dahsyat—menyiksa di titik-titik yang paling tidak terbayangkan: tulang tungging dekat tulang ekor, sepanjang jalur paha hingga betis kiriku. Bukan nyeri biasa. Ini…
Read MoreGagahnya Hati di Tengah Badai
Waktu terus berjalan, dan sakit yang ku derita belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Hampir satu tahun lamanya tubuhku hidup dalam keterbatasan. Tapi yang lebih berat dari sekadar rasa sakit di tubuh, adalah pertarungan senyap yang berlangsung di dalam dada—di ruang sunyi yang hanya bisa dirasakan olehku dan Tuhanku. Semakin hari, semakin sering hatiku diserang oleh lintasan-lintasan kecemasan yang datang beruntun, seperti gelombang besar menghantam pantai rapuh. Bukan cemas biasa, tapi kekhawatiran yang terasa masuk akal, nyata, dan menekan. “Bagaimana jika sakit ini tak bisa sembuh? Bagaimana jika aku benar-benar cacat?…
Read MorePerang Sunyi—Ketika Jiwa Melawan yang Tak Terlihat
Di titik paling rapuh dalam hidupku, aku diseret oleh waktu ke lorong panjang penderitaan. Tubuhku lunglai, sakitku tak kunjung reda. Berbulan-bulan aku menjadi penghuni tetap kasur, tanpa kejelasan nama penyakit. Medis tak memberi kepastian, dan tak sedikit dari keluarga maupun kerabat yang kemudian menyarankan jalur pengobatan alternatif. Aku pun menempuh jalur itu—satu per satu tabib kudatangi, di kota maupun desa. Ada yang membaca ayat-ayat, ada yang meraba denyut nadi, bahkan ada yang hanya melihat dan langsung bicara. Tapi hampir semua dari mereka menyampaikan hal yang senada: “Ini bukan sakit biasa……
Read MoreUjian Tauhid di Tengah Derita
Usiaku kala itu baru menginjak 24 tahun. Di saat banyak orang seusia diriku sedang semangat menata masa depan, aku justru tergeletak tak berdaya. Sakit yang menimpaku bukan sakit biasa—tubuhku membungkuk ekstrem, tak bisa duduk apalagi berbaring. Aku hanya bisa “melungker” seperti bola yang mengerut, menahan nyeri yang tak terkatakan. Derita itu berlangsung berbulan-bulan tanpa titik terang dari beragam pengobatan medis dan alternatif. Di tengah derita yang panjang itu, datanglah seorang kerabat dengan wajah penuh kepedulian. Ia menengokku, lalu berkata pelan, “Saya bawa seseorang yang mungkin bisa membantu…” Aku tahu niatnya…
Read MoreKISAH NYATA HIDUPKU YG KE DUA
BAB 1: Merantau Bermodal Niat dan Semangat Saat pertama kali kaki ini menapak di Kota Surabaya, tidak ada ambisi besar yang menuntunku selain satu hal: bekerja. Kuliah hanyalah angan yang masih samar. Tujuan utamaku adalah bertahan hidup. Di antara riuhnya kota dan kerasnya persaingan, aku memulai dari titik nol, mengontrak sebuah lapak kecil di Pasar Sore Pandegiling. Sebuah gerobak rombong kujadikan warkop sederhana yang hanya beroperasi dari sore selepas Ashar hingga menjelang Subuh. Bersama gerobak itu, setiap malam adalah medan tempur. Aku menjajakan kopi, teh, dan jajanan ringan untuk pengunjung…
Read More“Hidupku yang Kedua”
“Hidupku yang Kedua” Bab 1: Merantau, Bukan untuk Kuliah Di awal langkahku ke Surabaya, kulangkahkan kaki bukan dengan niat kuliah, melainkan sekadar bertahan hidup. Aku mencari kerja, seadanya. Takdir menuntunku membuka warkop gerobak sederhana di sebuah pasar sore Pandegiling. Dari sinilah perjuangan dimulai. Dari gerobak rombong itulah hidupku dipertaruhkan demi secangkir kopi dan mimpi kecil yang diam-diam tumbuh besar. Bab 2: Warkop Subuh dan Kuliah Pagi Usai Ashar aku mendorong gerobakku, melayani pembeli hingga menjelang Subuh. Lalu tanpa tidur, pagi-pagi aku jogging sebentar, lalu naik bus kota menuju kampus IAIN…
Read More“Hidupku yang Kedua: Menemukan Terang Setelah Gelap”
“Hidupku yang Kedua: Menemukan Terang Setelah Gelap” 📖 Daftar Bab: Bab 1: Serambi Masjid dan Cahaya Kecil Masa Kecilku Di sinilah semua bermula. Masa kecilku diwarnai oleh kesederhanaan dan cahaya Al-Qur’an. Ayah mendaftarkanku mengaji di serambi masjid bersama para guru mulia: Bapak Ya’kub, Samukit, Mujaizin, Munajib, Sabikin, dan H. Munir Abbas. Maghrib hingga Isya adalah waktu suci, waktu belajar dan menyerap nur Ilahi. Namun zaman perlahan berubah, serambi mulai sepi, dan aku mencoba menjaga cahaya itu tetap menyala. Bab 2: Menghidupkan Kembali Serambi yang Sepi Kala generasiku usai, tak ada…
Read MoreHidupku yang Kedua: Dari Ujian, Menuju Keteguhan dan Kemuliaan
Hidupku yang Kedua: Dari Ujian, Menuju Keteguhan dan Kemuliaan Setelah setahun penuh tubuhku dirundung sakit, nyaris tak bisa melakukan apapun, saat kesembuhan itu datang—aku sadar: inilah hidupku yang kedua. Sejak hari itu, aku berjanji dalam hati, hidup yang baru ini harus kujalani dengan lebih hati-hati, lebih bijaksana, dan lebih dekat kepada Tuhan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan anugerah kesempatan kedua ini. Tugas pertama dan utama yang aku pegang teguh adalah menunaikan tanggung jawabku sebagai ayah dan suami, sesuatu yang selama aku sakit tak mampu aku jalani. Anak dan istriku adalah titipan…
Read More