Dalam hiruk-pikuk kehidupan ini, kita melihat betapa beragamnya manusia—ada yang jenius, ada yang sederhana; ada yang berhati lembut, ada pula yang keras dan membatu; ada yang tubuhnya sehat, ada pula yang rapuh. Perbedaan ini kerap membuat kita lupa pada satu kenyataan mendasar: bahwa semua manusia diciptakan dengan prinsip penciptaan yang sama. Ya, dalam pandangan tauhid dan fitrah, seluruh manusia adalah ‘kembar’ dalam penciptaan. 1. Diciptakan dengan Sistem dan Potensi yang Sama Saat Allah menciptakan manusia, Dia memberi setiap jiwa seperangkat instrumen dasar yang seragam: Semua manusia, tanpa terkecuali, lahir dengan…
Read MoreKategori: Berita
Tauhid dalam Gagasan: Menyadari Sumber Ilham yang Hakiki
Seringkali ketika ide cemerlang melintas di benak kita—gagasan yang segar, pemikiran yang dalam, atau rencana yang menginspirasi—kita merasa bangga. Kita berkata dalam hati, “Ini buah dari pemikiran saya, ini hasil dari kerja keras dan kecerdasan saya.” Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Dari mana sebenarnya datangnya semua ide ini? Sebagai seorang yang bertauhid, kita wajib menyadari dan meyakini satu hal penting: segala ide dan gagasan yang baik, yang muncul dalam hati dan pikiran kita, adalah datangnya dari Allah. Ini bukan sekadar pengakuan retoris, tapi bentuk penghayatan mendalam terhadap makna…
Read MoreSelesai dengan Diri Sendiri: Fondasi Sebelum Menjadi Siapa-Siapa
Selesai dengan Diri Sendiri: Fondasi Sebelum Menjadi Siapa-Siapa Dalam perjalanan hidup, banyak orang sibuk mengejar pencapaian, popularitas, dan simbol kesuksesan. Tapi ada satu hal penting yang sering dilupakan: apakah kita sudah selesai dengan diri sendiri? Ada ungkapan yang cukup keras namun jujur: “Mereka yang masih memerlukan pujian, ia belum beres dengan dirinya. Mereka yang lebih memilih menangis di mobil mewah daripada tertawa dalam kesederhanaan, ia belum beres dengan dirinya. Dan mereka yang belum beres dengan dirinya, belum layak menjadi apa-apa.” Kalimat ini menyentuh titik terdalam dalam pencarian jati diri dan…
Read MoreBelajar Tawakkal dari Seekor Burung di Atas Ranting Rapuh
Pernahkah Anda melihat seekor burung yang hinggap di ranting pohon yang tampak rapuh? Ia tidak terlihat gelisah, tidak terlihat cemas, apalagi ketakutan. Padahal, ranting itu bisa patah kapan saja. Tapi burung itu tetap tenang. Mengapa? Jawabannya sederhana namun penuh makna:Burung itu tidak meletakkan kepercayaannya pada ranting yang bisa patah, melainkan pada sayapnya sendiri.Ia yakin, andai ranting itu patah, ia bisa terbang. Makna Mendalam dari Seekor Burung Analogi sederhana ini memberikan pelajaran luar biasa tentang hidup dan ketergantungan kita kepada Tuhan. Dalam kehidupan, banyak dari kita meletakkan rasa aman dan nyaman…
Read MoreKetenangan: Modal Utama Menghadapi Hidup yang Penuh Kejutan
Hidup ini penuh kejutan. Tidak ada yang benar-benar bisa memprediksi apa yang akan terjadi esok hari—bahkan dalam hitungan menit pun, bisa saja semuanya berubah drastis. Di tengah derasnya arus peristiwa yang datang mendadak, satu hal yang paling kita butuhkan bukan kepintaran, bukan kekuatan fisik, apalagi kepanikan. Yang paling utama adalah: ketenangan. Tenang, Tenang, dan Tenang Ketenangan adalah benteng pertama sekaligus senjata utama dalam menghadapi badai kehidupan. Ia membuat kita tidak larut dalam kekacauan, tidak hanyut oleh emosi, dan tidak tenggelam dalam ketakutan. Namun, menjadi pribadi yang tenang bukanlah hal yang…
Read MoreEtika vs Hukum: Cara Berpikir yang Menentukan Kualitas Diri
Etika vs Hukum: Cara Berpikir yang Menentukan Kualitas Diri Di tengah masyarakat yang semakin kompleks, kita bisa membedakan manusia dalam dua jenis cara berpikir: mereka yang berlandaskan etika, dan mereka yang hanya berpegang pada hukum. Perbedaan keduanya sangat mendasar—dan menentukan arah moral seseorang. 1. Orang Beretika Tinggi: Memberi, Bukan Meminta Bagi orang yang menjunjung tinggi etika, segala sesuatu yang ia lakukan lahir dari kesadaran batin, bukan tekanan dari luar. Motivasinya bukan takut, tapi cinta. Bukan pamrih, tapi keikhlasan. Etika membuat seseorang bertanya: “Apakah ini baik atau buruk?”Bukan sekadar:“Apakah ini boleh…
Read MoreKetika Semua Diam: Awal dari Bencana Sosial yang Tak Terperihkan
Ketika Semua Diam: Awal dari Bencana Sosial yang Tak Terperihkan Sebuah masyarakat, sekecil apapun—entah desa terpencil atau kawasan pinggiran kota—akan bertahan dan berkembang jika ditopang oleh kesadaran kolektif. Bukan hanya oleh satu pihak, tapi oleh semua elemen: umaro’ (pemerintah), ulama, intelektual, tokoh masyarakat, orang tua, pemuda, dan para pendidik. Namun ketika semua unsur ini mulai mementingkan egonya masing-masing, sibuk pada kenyamanan pribadi, dan aprori terhadap sekitar, maka bencana sosial tak terelakkan. 1. Gejala Awal: Masing-Masing Sibuk dengan Dirinya Sendiri Ini adalah penyakit kolektif: egoisme sosial. “Jika masing-masing hanya menjaga dirinya…
Read MoreIntelektual Diam, Masyarakat Merana: Ketika Akal Tak Lagi Bicara
Intelektual Diam, Masyarakat Merana: Ketika Akal Tak Lagi Bicara Di tengah gempuran kemunduran moral dan sosial umat Islam, kita sering mengangkat dua aktor utama sebagai penentu arah masyarakat: umaro’ dan ulama. Tapi sesungguhnya ada satu kelompok lagi yang tidak kalah penting: kaum intelektual. Kaum intelektual—terutama yang muncul dari kalangan pemuda terpelajar—adalah harapan ketiga bagi masyarakat. Mereka adalah produk dari proses pendidikan tinggi, seharusnya menjadi penjaga nalar kritis, agen perubahan sosial, dan motor pembaharuan nilai. Namun, sebuah pertanyaan besar mengemuka: mengapa mereka justru diam? 1. Di Mana Intelektual Itu? Ada, Tapi…
Read MoreKetika Pemimpin Diam: Akar Kemunduran Umat dari Desa hingga Negeri
Kemunduran masyarakat muslim, bahkan di tingkat desa sekalipun, tidak lepas dari peran (atau kegagalan) pemimpinnya—baik umaro’ maupun ulama’. Dalam setiap struktur masyarakat Islam, ada dua pilar utama yang menopang kestabilan dan kemuliaan umat: umaro’ (pemimpin pemerintahan) dan ulama’ (pemimpin keagamaan). Kedua entitas ini bukan sekadar pelengkap formalitas sosial, tetapi penjaga nilai, moral, dan arah hidup masyarakat. Ketika umat mengalami kemunduran, titik awal yang patut dipertanyakan adalah: bagaimana keadaan para pemimpinnya? 1. Umat Rusak Ketika Umaro’ dan Ulama’ Abai Di tingkat masyarakat terkecil—seperti desa—tanda-tanda kemunduran sering kali sangat nyata: Namun, di…
Read MoreKetika Dosa Menjadi Budaya: Refleksi atas Kemunduran Umat
Ketika Dosa Menjadi Budaya: Refleksi atas Kemunduran Umat Kemajuan zaman seharusnya selaras dengan kemajuan moral dan spiritual. Namun realitas hari ini menunjukkan arah sebaliknya: semakin modern masyarakat, justru semakin banyak nilai-nilai agama dan norma sosial yang diabaikan. Fenomena ini tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah sinyal bahaya yang mengarah pada kemunduran umat, bahkan menuju keruntuhan jika tidak segera disadari dan dibenahi. 1. Dulu Dosa, Kini Biasa: Hilangnya Rasa Malu Salah satu indikator paling mencolok dari kemunduran moral umat adalah hilangnya rasa malu terhadap perbuatan dosa. Contoh yang sangat nyata adalah…
Read More