“Hati Itu Lugu dan Jujur: Maka Dekatkan Ia pada Cahaya”

“Hati Itu Lugu dan Jujur: Maka Dekatkan Ia pada Cahaya” Di antara karunia terbesar yang Allah titipkan kepada manusia adalah hati. Bukan sekadar segumpal daging, melainkan pusat rasa, keyakinan, dan kejujuran terdalam dalam diri manusia. Hati itu tidak bisa berdusta. Ia tidak lihai bersandiwara. Apa yang dirasakan, itulah yang ia ikuti. Ia polos, ia lugu, tapi sekaligus sangat menentukan arah hidup seseorang. Berbeda dengan pikiran yang bisa diputar ke segala arah—mencari celah pembenaran, berdalih, bahkan memanipulasi kenyataan—hati hanya mengenal satu arah: apa yang ia rasakan benar, itulah yang akan ia…

Read More

Jalan Islam Itu Terang, Tapi Mengapa Masih Ada yang Tersesat?

Jalan Islam Itu Terang, Tapi Mengapa Masih Ada yang Tersesat? Menjadi seorang Muslim adalah sebuah keputusan besar. Bukan sekadar status sosial atau warisan dari orang tua, tetapi pilihan sadar untuk hidup dalam sistem nilai yang diturunkan langsung oleh Allah melalui Al-Qur’an dan teladan Nabi Muhammad SAW. Islam bukan agama abu-abu. Islam itu terang, jelas, dan tegas. Semua yang diperintahkan dan dilarang telah ditetapkan. Cara beribadah telah dijelaskan. Akidah telah dirumuskan dengan sempurna. Tidak ada celah dalam Islam yang menyebabkan manusia tersesat—kecuali jika manusianya sendiri tidak peduli untuk memahaminya. Ilmu: Penjaga…

Read More

Musrik dan Munafik: Dua Status Spiritualitas yang Wajib Ditakuti oleh Seorang Muslim

Musrik dan Munafik: Dua Status Spiritualitas yang Wajib Ditakuti oleh Seorang Muslim Setiap Muslim tentu ingin selamat dunia dan akhirat. Namun, tidak semua Muslim sadar bahwa dua ancaman spiritual terbesar justru datang dari dalam diri sendiri: kemusyrikan dan kemunafikan. Keduanya bukan hanya merusak iman, tetapi juga mengantar langsung pada murka dan neraka, sebagaimana dijelaskan berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadits. Anehnya, tak sedikit orang yang mengaku beriman merasa aman-aman saja, tidak khawatir sedikit pun dengan dua status berbahaya ini. Padahal, justru ketidaktakutan itulah yang paling membahayakan. 1. Musyrik: Saat Keyakinan Kepada…

Read More

Merawat Iman: Jangan Sampai Keyakinan Tergadai Mistik dan Klenik

Merawat Iman: Jangan Sampai Keyakinan Tergadai Mistik dan Klenik Banyak orang merasa telah selesai hanya karena sudah memiliki agama. Seakan-akan, memeluk Islam saja sudah cukup untuk menjamin keselamatan dunia akhirat. Padahal, memiliki Islam hanyalah awal dari perjalanan panjang—bukan titik akhir. Keyakinan itu ibarat tanaman. Ia bisa tumbuh subur jika dipelihara dengan baik, namun juga bisa layu, bahkan mati, jika dibiarkan tanpa perawatan. Iman Butuh Bukti, Bukan Sekadar Identitas Mengaku beriman tapi tidak pernah sholat. Mengklaim Muslim tapi tak pernah membaca Al-Qur’an. Mengucap “La ilaha illallah” tapi hidup tanpa dzikir, tanpa…

Read More

Ketika Sujud Menjadi Obat: Menemukan Kedamaian dalam Ridha dan Puji kepada Tuhan

Dalam hidup ini, ada luka-luka yang tak bisa disembuhkan oleh obat. Ada lelah yang tak mampu diangkat oleh istirahat. Ada tangis yang tak mampu dijelaskan oleh kata-kata. Dan ketika semua jalan terasa buntu, manusia akhirnya kembali pada satu hal yang paling sederhana sekaligus paling agung: sujud. Sujud adalah tempat paling sunyi, namun paling menggetarkan. Di sana, bukan hanya dahi yang menyentuh bumi—tetapi juga hati yang menyerah total kepada langit. Saat Dunia Tak Lagi Bisa Dijelaskan dengan Logika Ada fase dalam hidup di mana kecerdasan tak lagi sanggup menenangkan. Analisis tak…

Read More

Luka Para Cerdas: Ketika Kejeniusan Menjadi Kutukan yang Sunyi

Luka Para Cerdas: Ketika Kejeniusan Menjadi Kutukan yang Sunyi Di mata banyak orang, kecerdasan adalah anugerah. Kejeniusan adalah cahaya. Ia diasosiasikan dengan keberhasilan, kebanggaan, dan keistimewaan. Tapi bagi sebagian orang yang benar-benar cerdas, hidup justru menjadi lebih rumit, lebih pedih, lebih menyakitkan. Karena semakin tajam akal seseorang, semakin ia mampu melihat banyak hal yang tak beres. Semakin jernih pikirannya, semakin terang pula keburukan yang tampak di hadapannya—yang oleh orang lain dianggap biasa saja. Dan dari situlah luka batin sang intelektual bermula. Kemampuan Melihat Lebih Dalam, Tapi Tak Bisa Berbuat Banyak…

Read More

Intelektual dan Jalan Sunyi: Saat Pikiran Harus Berteman dengan Sepi

Intelektual dan Jalan Sunyi: Saat Pikiran Harus Berteman dengan Sepi Di dunia yang bising oleh tepuk tangan dan sorotan popularitas, menjadi seorang intelektual justru sering kali berarti menempuh jalan yang sepi dan sunyi. Bukan karena ia tak ingin bersuara, tapi karena pikirannya terlalu dalam untuk disambut gegap gempita, dan kebenaran yang dipegangnya terlalu tajam untuk diterima tanpa luka. Intelektual bukan sekadar gelar, bukan sekadar pintar berbicara di forum terbuka. Ia adalah sosok yang berpikir ketika orang lain sibuk berdebat, yang merenung ketika dunia tergesa-gesa, dan yang tetap menulis meski tak…

Read More

Dewan Pengawas atau Pengawas Dewan? Fenomena Lucu yang Menyedihkan

Di tengah dinamika tata kelola lembaga dan perusahaan publik yang seharusnya menjunjung prinsip transparansi dan keberpihakan pada rakyat, kita justru menemukan fenomena yang unik sekaligus tragis—yakni ketika dewan pengawas berubah fungsi menjadi perisai para pengurus. Ini bukan cerita fiksi. Dalam banyak forum pertemuan antara pengurus lembaga/perusahaan dan masyarakat, tak jarang dewan pengawas—yang sejatinya adalah wakil rakyat dan kepanjangan tangan pemimpin wilayah—malah tampil membela pengurus habis-habisan. Bukan menjaga rakyat, justru melindungi kepentingan segelintir elit dalam organisasi. Fenomena ini bukan hanya lucu dan ganjil. Ia nyungsang—terbalik dari logika sehat dan etika jabatan.…

Read More

Ilmu Tanpa Integritas: Ketika Gelar Tinggi Menjadi Beban Moral

Ilmu Tanpa Integritas: Ketika Gelar Tinggi Menjadi Beban Moral Di tengah masyarakat modern, gelar akademik dan pendidikan tinggi sering dipandang sebagai simbol keberhasilan, kemajuan, bahkan martabat. Orang yang menyandang gelar berderet—dari sarjana, magister, hingga doktor—diharapkan menjadi sosok teladan: cerdas, bijak, dan menjaga persatuan. Namun, apa jadinya jika di balik gelar yang panjang itu tersembunyi pribadi yang angkuh, penuh kontroversi, dan minim integritas? Inilah ironi besar dunia pendidikan: ketika ilmu tak disertai budi pekerti, maka gelar hanya menjadi hiasan tanpa makna, bahkan bisa berubah menjadi beban moral yang berat. Gelar Tak…

Read More

Jangan Diam Saat Organisasi Mati: Bahaya Masyarakat yang Apatis dan Mudah Dibodohi

Jangan Diam Saat Organisasi Mati: Bahaya Masyarakat yang Apatis dan Mudah Dibodohi Di banyak lingkungan, kita kerap menjumpai organisasi yang seharusnya menjadi penggerak masyarakat—seperti RT/RW, lembaga adat, organisasi kepemudaan, atau keagamaan—namun justru tampak beku, mati suri, bahkan tak lagi memiliki fungsi nyata. Ironisnya, kondisi ini dianggap biasa saja oleh warga. Tidak ada pertanyaan, tidak ada kritik, seolah-olah keadaan ini memang tak perlu diubah. Inilah gejala kelumpuhan sosial yang bisa menjadi awal dari berbagai kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang Tidak Kritis: Subur untuk Ketertindasan Ketika masyarakat bersikap diam terhadap kemacetan…

Read More