Di Antara Kepalsuan dan Ketulusan: Siapa yang Benar-Benar Menghargai?

Dalam kehidupan sosial di lingkungan desa, kita sering menemui kenyataan bahwa masyarakat tidak homogen. Mereka terbagi dalam dua kelompok besar secara kultural: kelompok warga kecil yang hidup alami, polos, dan apa adanya, serta kelompok para tokoh—entah itu tokoh agama, adat, maupun elite formal—yang cenderung hidup dalam sistem simbolik, pencitraan, dan kadang kepalsuan sosial. Yang menarik untuk diamati adalah bagaimana kedua kelompok ini membentuk relasi sosial yang sangat berbeda. Kelompok warga biasa biasanya bersikap jujur, lugas, dan terbuka. Mereka menilai orang dari ketulusan hati dan keaslian sikap. Sebaliknya, kelompok elite sosial…

Read More

Memahami Sebelum Menilai: Kunci Menangani Sikap Warga yang Sulit

Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita diperlakukan buruk oleh seseorang yang kita anggap sahabat, sering kali reaksi pertama yang muncul bukan kemarahan, tapi justru pertanyaan dalam hati: “Saya salah apa ya sama dia?” Ini adalah bentuk introspeksi diri yang sehat—yakni mencoba memahami penyebab di balik perilaku orang lain, sebelum buru-buru menilai atau membalas. Pola pikir seperti ini sebenarnya bisa dan perlu diterapkan pula dalam kehidupan sosial dan pemerintahan, termasuk di tingkat desa. Ketika ada warga yang bersikap sulit, menolak diajak kerja sama, atau bahkan terang-terangan menentang program pembangunan, respons pertama pemerintah…

Read More

Kepemimpinan Desa dan Seni Mengambil Hati Warga

Dalam konteks pemerintahan desa, peran kepala desa bukan sekadar sebagai pejabat administratif atau pelaksana program pembangunan. Ia juga adalah figur sentral yang menjadi simbol kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, kepala desa idealnya memiliki kemampuan untuk merangkul dan mengambil hati warganya. Ini bukan sekadar tuntutan etis, melainkan kebutuhan strategis agar pembangunan desa bisa berjalan lancar dan mendapat dukungan luas dari masyarakat. Mengapa kemampuan “mengambil hati” menjadi begitu penting? Pertama, keberhasilan pembangunan desa sangat bergantung pada tingkat partisipasi masyarakat. Tidak ada program pembangunan yang bisa benar-benar sukses jika masyarakatnya bersikap apatis, acuh…

Read More

Modin Kematian—Pekerjaan Berat yang Tak Dianggap Berat

Fenomena paradoks sosial-keagamaan di tingkat desa, di mana pekerjaan yang paling berat secara mental dan spiritual justru tidak mendapat penghargaan yang layak, baik secara moral maupun material. Modin Kematian—Pekerjaan Berat yang Tak Dianggap Berat Di banyak desa, kita mendengar keluhan yang sama: sulit mencari orang yang bersedia menjadi modin kematian. Padahal tugasnya sangat mulia dan sangat penting—mengurus jenazah, memandikan, mengkafani, hingga mengantar ke liang lahat. Pekerjaan ini tidak hanya menuntut ketahanan mental dan nyali, tetapi juga kemampuan teknis, keikhlasan, dan kesiapan spiritual. Namun anehnya, pekerjaan ini seringkali tidak diapresiasi secara…

Read More

Menyatukan Peran Sosial di Desa: Tak Hanya Tugas Pemerintah, Tapi Juga Tanggung Jawab Umat

Tugas kesejahteraan sosial tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab pemerintah desa, melainkan merupakan tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat, khususnya lembaga-lembaga keagamaan. Di banyak kawasan pedesaan, problem sosial seperti kemiskinan, orang sakit yang terlantar, pendidikan anak yang terhambat, atau warga yang terjerat masalah sering kali terjadi. Dalam kondisi ideal, semua masalah itu memang menjadi perhatian pemerintah desa. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, pemerintah desa tidak selalu mampu menjangkau semua kebutuhan warga secara merata dan menyeluruh. Di sinilah pentingnya kebersamaan sosial lintas lembaga. Takmir masjid, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, Aisyiyah, NU,…

Read More

Menghadirkan Kembali Arah Keagamaan di Desa Melalui Lembaga Tokoh Agama

Mengisi kekosongan figur sentral keagamaan dengan pendekatan kolektif. Dalam konteks masyarakat desa—yang seringkali hidup dengan struktur sosial yang sangat tergantung pada figur sentral—ketiadaan sesepuh agama bisa menimbulkan kekosongan arah, kebingungan, bahkan potensi konflik antar warga. Maka, membentuk sebuah lembaga atau organisasi Tokoh Agama Desa adalah langkah strategis yang layak diperjuangkan. Di banyak desa, kehidupan masyarakat tidak hanya diatur oleh hukum negara atau kepala desa, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan sesepuh agama—sosok yang dihormati karena ilmu, kebijaksanaan, dan akhlaknya. Namun, apa jadinya jika sosok semacam itu wafat atau tidak lagi…

Read More

Umat Islam Terbesar di Dunia, Tapi Mengapa Masih Lemah?

Umat Islam Terbesar di Dunia, Tapi Mengapa Masih Lemah? Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, azan berkumandang, masjid berdiri megah, dan identitas keislaman dijunjung tinggi. Namun, di balik kebanggaan statistik itu, ada kenyataan yang menyedihkan: secara kualitas, umat Islam Indonesia masih sangat tertinggal. Mayoritas umat Islam di negeri ini masih awam, miskin, mudah dibohongi, dan mudah diadu domba. Mereka belum berdaya secara ekonomi, lemah dalam literasi agama, dan terjebak dalam siklus kemiskinan yang diwariskan turun-temurun. Lalu kita bertanya: Fenomena apa sebenarnya…

Read More

Kesepian di Tanah Kelahiran: Ketika Tak Menemukan Teman Sejiwa dan Figur Teladan

Belajar kritis Hidup di desa, tempat kita lahir dan dibesarkan, seringkali menghadirkan rasa damai. Alamnya ramah, orang-orangnya dikenal sejak kecil, dan segala kenangan masa lalu berakar di sana. Namun, tak semua orang merasa betah tinggal di tanah kelahirannya. Ada penderitaan yang sunyi tapi dalam: tidak menemukan teman seperjalanan dan tidak menjumpai tokoh panutan yang bisa dijadikan teladan. Fenomena ini jarang dibicarakan, tapi nyata dirasakan. Terutama oleh orang-orang yang berpikir jauh ke depan, punya idealisme, atau ingin hidup dalam nilai-nilai yang lebih tinggi. 1. Manusia Butuh Teman Sejiwa, Bukan Sekadar Tetangga…

Read More

Takut pada Tuhan: Misteri Antara Ilmu, Gelar, dan Hati yang Tak Tersentuh

Takut pada Tuhan: Misteri Antara Ilmu, Gelar, dan Hati yang Tak Tersentuh Di tengah masyarakat kita, tak sedikit orang yang tampaknya sudah sangat dekat dengan agama: lulusan pesantren, bergelar sarjana syariah, bahkan sudah pernah menunaikan ibadah haji. Namun anehnya, mereka masih terlibat dalam praktik yang jelas-jelas dilarang oleh Islam, seperti suap, riba, dan bentuk kezaliman lainnya. Lalu kita bertanya-tanya: Kemana rasa takut mereka kepada Allah? Inilah misteri terbesar dalam beragama: rasa takut kepada Tuhan (khauf) bukan sekadar produk ilmu atau gelar, tapi buah dari keimanan yang benar-benar hidup dalam hati.…

Read More

Ketika Karakter Dibunuh: Kekejaman Sosial yang Menghancurkan Masa Depan

Fenomena pembunuhan karakter (character assassination) adalah salah satu bentuk kekerasan sosial yang sangat halus tapi memiliki dampak yang luar biasa kejam dan panjang. Berbeda dengan kekerasan fisik yang terlihat, pembunuhan karakter bekerja dalam senyap: lewat bisik-bisik, fitnah, framing negatif, atau manipulasi informasi yang sengaja dibuat untuk merusak citra seseorang. Di tengah masyarakat, kita sering menjumpai seseorang yang tiba-tiba dijauhi, dicurigai, atau bahkan tidak diberi ruang untuk berkembang, padahal ia tidak pernah melakukan kesalahan secara nyata. Setelah ditelusuri, ternyata ini akibat dari sebuah proses halus namun mematikan: pembunuhan karakter. Fenomena ini…

Read More