Di Antara Kepalsuan dan Ketulusan: Siapa yang Benar-Benar Menghargai?

Bagikan Keteman :


Dalam kehidupan sosial di lingkungan desa, kita sering menemui kenyataan bahwa masyarakat tidak homogen. Mereka terbagi dalam dua kelompok besar secara kultural: kelompok warga kecil yang hidup alami, polos, dan apa adanya, serta kelompok para tokoh—entah itu tokoh agama, adat, maupun elite formal—yang cenderung hidup dalam sistem simbolik, pencitraan, dan kadang kepalsuan sosial.

Yang menarik untuk diamati adalah bagaimana kedua kelompok ini membentuk relasi sosial yang sangat berbeda. Kelompok warga biasa biasanya bersikap jujur, lugas, dan terbuka. Mereka menilai orang dari ketulusan hati dan keaslian sikap. Sebaliknya, kelompok elite sosial sering kali lebih menilai berdasarkan pencapaian, status, atau afiliasi. Tak jarang, mereka terjebak dalam dinamika kepentingan, topeng sosial, dan relasi transaksional.

Dalam lanskap sosial seperti ini, seseorang yang hadir dengan sikap tulus, jujur, dan tanpa pamrih sering kali justru tidak mendapat tempat di hati kelompok elite. Ia bisa saja diabaikan, dianggap tidak penting, atau bahkan disisihkan karena tidak “bermain dalam bahasa mereka”. Namun, justru di saat yang sama, orang tersebut bisa sangat dihormati dan dicintai oleh kelompok masyarakat kecil. Mengapa?

Karena masyarakat kecil cenderung memiliki kepekaan emosional yang tajam terhadap keaslian dan ketulusan. Mereka tidak mudah tertipu oleh pencitraan, dan justru merindukan kehadiran sosok yang bisa mereka percaya sepenuh hati. Maka ketika seseorang benar-benar jujur dan apa adanya, mereka akan menerimanya tanpa syarat, bahkan memuliakannya.

Fenomena ini bukan sekadar unik—tetapi juga sangat manusiawi. Ia mencerminkan sebuah kenyataan bahwa pengakuan sosial yang paling murni dan berharga justru datang dari hati masyarakat yang hidup tanpa kepentingan. Mereka mencintai bukan karena status, tetapi karena kepribadian yang menyentuh. Mereka menghargai bukan karena jabatan, tapi karena kejujuran yang mereka rasakan langsung.

Maka, beruntunglah orang yang dihormati dan dicintai oleh kelompok masyarakat yang polos dan lugu. Karena meskipun mungkin ia diabaikan oleh mereka yang merasa dirinya penting, ia telah mendapatkan tempat di hati mereka yang paling tulus.

Pada akhirnya, di tengah masyarakat yang penuh simbol dan kepalsuan, keaslian adalah kekuatan yang paling langgeng. Dan siapa pun yang berhasil menjaga ketulusan di tengah tekanan untuk berpura-pura, adalah orang yang sejatinya paling layak dihormati—meskipun tak selalu oleh semua orang.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment