Ketika Riba dan Suap Menjadi Lazim: Antara Dilema Persahabatan dan Tanggung Jawab Dakwah

Bagikan Keteman :


Hidup di lingkungan desa yang penuh dengan keakraban, persaudaraan, dan keterikatan emosional seringkali menempatkan kita pada situasi yang tidak mudah. Apalagi jika kita diberi amanah untuk berdakwah di tengah masyarakat yang secara sosial begitu dekat dengan kita—para sahabat, tetangga, bahkan kerabat. Lalu, kita menyadari bahwa di antara mereka masih ada yang melazimkan praktik riba dan suap. Maka muncul dilema: haruskah kita menyampaikan kebenaran itu, meski terasa seperti menyinggung orang-orang terdekat?


1. Menyampaikan Dakwah Itu Amanah, Bukan Ajang Menghakimi

Dakwah bukanlah penghakiman. Ia adalah panggilan cinta dari seorang hamba kepada saudaranya agar berjalan dalam ridha Allah. Maka menyampaikan larangan riba atau suap, bukan berarti kita menunjuk-nunjuk siapa yang salah. Justru itu adalah bentuk kepedulian agar masyarakat kita tidak terjerumus pada dosa yang merusak dunia dan akhirat.

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dengan hati, dan itulah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)


2. Riba dan Suap: Dosa Besar yang Sering Dianggap Sepele

Ironisnya, dua perkara yang sangat dikecam dalam Islam—riba dan suap—justru sering dianggap biasa di masyarakat. Padahal:

  • Riba dalam Al-Qur’an disandingkan dengan peperangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. “…Maka jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…”
    (QS. Al-Baqarah: 279)
  • Suap dinilai sebagai perusak keadilan dan pintu kejahatan sosial. “Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara antara keduanya.”
    (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Lalu, jika masyarakat kita terjebak dalam dua dosa ini karena ketidaktahuan, bukankah kewajiban kitalah untuk mengingatkan mereka?


3. Menyampaikan dengan Hikmah dan Kelembutan

Kita tidak perlu menyampaikan secara keras atau menyudutkan langsung. Islam mengajarkan dakwah dengan hikmah (kebijaksanaan), mau’izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (berdialog dengan cara terbaik).

Contohnya: Alih-alih berkata, “Kita ini masih banyak yang kena riba!”
Lebih bijak bila disampaikan:
“Banyak di antara kita terjebak riba tanpa sadar. Yuk, kita pelajari bersama bagaimana Islam mengatur rezeki yang berkah.”


4. Diam Bukan Pilihan, Tapi Sampaikan dengan Cara Bijak

Rasa tidak enak hati atau takut menyinggung teman, jangan sampai membuat kita memilih diam. Karena diam bisa menambah lebar jurang antara kebenaran dan kebiasaan buruk. Tapi juga tidak berarti harus menyampaikan dengan menyengat.

Jika khawatir menyampaikan secara langsung:

  • Gunakan media sosial, tulisan di grup WA, atau artikel di buletin masjid.
  • Undang ustaz dari luar desa agar penyampaiannya terasa netral.
  • Masukkan tema riba dan suap dalam kajian umum bertema ekonomi Islam, bukan sebagai sorotan individu.

5. Jangan Takut Hidayah Ditolak, Tugas Kita Hanya Menyampaikan

Terkadang, kita takut ditolak atau disalahpahami. Tapi ingatlah, kita hanya ditugaskan menyampaikan, bukan memaksakan hidayah. Rasulullah SAW sendiri bersabda:

“Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, adapun memberi hidayah adalah urusan Allah.”
(QS. Al-Ghashiyah: 21-22)


Penutup: Dakwah Adalah Tanda Sayang, Bukan Menyinggung

Jangan biarkan kedekatan sosial menjadi penghalang untuk menyampaikan kebenaran. Justru karena mereka adalah sahabat dan tetangga kita, kitalah yang lebih layak mengingatkan mereka dengan cinta dan kasih sayang. Sebab jika bukan kita, siapa lagi?

Mari kita kuatkan langkah dakwah dengan kelembutan, keikhlasan, dan keberanian. Karena lebih baik menyampaikan kebenaran yang terasa pahit, daripada membiarkan kemungkaran yang manis dalam diam.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment