Fenomena Organisasi Tanpa Reformasi Kepengurusan: Antara Lemahnya Tata Kelola dan Dominasi Personal
Dalam dunia organisasi, baik berbentuk yayasan, lembaga swadaya masyarakat, maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, keberadaan struktur kepengurusan yang sehat merupakan fondasi penting bagi keberlanjutan dan kredibilitas organisasi tersebut. Salah satu aspek penting dalam manajemen organisasi adalah periodesasi kepengurusan, yakni pembatasan waktu tertentu bagi seseorang atau kelompok untuk memegang jabatan struktural, kemudian dilakukan evaluasi dan kemungkinan pergantian melalui mekanisme yang telah disepakati.
Namun dalam praktiknya, tidak sedikit organisasi yang sejak awal berdirinya hingga puluhan tahun kemudian—bahkan lebih dari tiga dekade—tidak pernah mengalami reformasi kepengurusan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apa yang menyebabkan tidak adanya pergantian pengurus dalam waktu yang begitu lama? Apakah hal ini legal? Dan bagaimana implikasinya bagi organisasi itu sendiri?
Lemahnya AD/ART sebagai Pangkal Masalah
Fenomena ini biasanya berakar pada tidak tegasnya pengaturan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi. Banyak organisasi yang tidak secara jelas mencantumkan ketentuan mengenai batas waktu masa jabatan, mekanisme pemilihan ulang, atau pembentukan badan pengawas internal. Bahkan dalam beberapa kasus, AD/ART disusun secara asal-asalan hanya untuk kebutuhan formalitas pendirian organisasi di awal.
Akibatnya, tidak ada dasar hukum internal yang mengharuskan dilakukan evaluasi atau reformasi struktural. Ketika tidak ada kewajiban tertulis, maka pengurus bisa saja terus menjabat tanpa batas waktu, apalagi jika tidak ada tekanan dari anggota atau pihak luar.
Sentralisasi Kekuasaan dan Budaya Organisasi Patrimonial
Lebih jauh lagi, kondisi ini mencerminkan adanya sentralisasi kekuasaan dalam satu atau beberapa individu. Fenomena ini sering disebut sebagai patrimonialisme, yakni sistem di mana kekuasaan dalam organisasi bersifat pribadi dan dijalankan berdasarkan loyalitas terhadap individu, bukan berdasarkan aturan atau norma organisasi.
Dalam budaya organisasi semacam ini, struktur organisasi dijalankan seperti “kerajaan kecil,” di mana pendiri atau pemimpin awal menjadi figur sentral yang tidak bisa digantikan. Tidak jarang pula organisasi dianggap sebagai milik pribadi yang diwariskan kepada anggota keluarga atau orang-orang dekat, alih-alih dijalankan berdasarkan prinsip partisipatif dan kolektif.
Minimnya Kesadaran Organisasi
Banyak organisasi yang pada awalnya dibentuk karena semangat idealisme atau kebutuhan sosial tertentu, namun tidak disertai dengan pemahaman yang kuat akan tata kelola organisasi yang baik. Aspek seperti regenerasi kepemimpinan, audit internal, atau transparansi pelaporan keuangan sering kali diabaikan. Akibatnya, organisasi mandek dan hanya menjadi formalitas semata, tanpa aktivitas nyata atau perkembangan berarti.
Risiko Hukum dan Legitimasi
Meskipun secara hukum tidak ada kewajiban eksplisit untuk melakukan pergantian pengurus jika tidak diatur dalam AD/ART, praktik tidak adanya reformasi kepengurusan dalam waktu lama berpotensi menimbulkan masalah legitimasi, terutama ketika organisasi tersebut:
- Menerima dana hibah atau bantuan dari pihak ketiga.
- Menjalin kerja sama dengan pemerintah atau lembaga donor.
- Terlibat dalam kegiatan publik yang menuntut akuntabilitas.
Dalam konteks hukum Indonesia, misalnya, yayasan yang telah terdaftar di Kemenkumham wajib melaporkan perubahan pengurus dan anggaran dasar secara berkala. Ketidakpatuhan terhadap hal ini dapat berujung pada pembekuan atau pencabutan status hukum yayasan tersebut.
Kesimpulan
Fenomena organisasi yang tidak mengalami reformasi kepengurusan selama puluhan tahun merupakan indikasi lemahnya tata kelola, absennya mekanisme kontrol, serta dominasi personal yang kuat dalam tubuh organisasi tersebut. Ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan budaya organisasi.
Sudah saatnya organisasi-organisasi melakukan pembenahan internal, dimulai dari merevisi AD/ART dengan menambahkan ketentuan tentang periodesasi, membentuk badan pengawas internal, dan membudayakan regenerasi kepemimpinan sebagai bagian dari proses demokratisasi organisasi.
By: Andik Irawan