Ketika Dua Pemimpin Desa Berseteru: Tragedi Sosial dalam Kepemimpinan Lokal

Bagikan Keteman :


Ketika Dua Pemimpin Desa Berseteru: Tragedi Sosial dalam Kepemimpinan Lokal

Di tengah harapan akan keharmonisan sosial dan kearifan lokal, masyarakat desa sering menempatkan kepala desa—baik yang sedang menjabat maupun yang sudah purna—sebagai sosok panutan. Kepala desa adalah figur yang tidak hanya memegang kekuasaan administratif, tetapi juga memikul tanggung jawab moral dan sosial sebagai pemersatu warga. Maka dari itu, perselisihan antara mantan kepala desa dengan kepala desa aktif bukan hanya janggal, tetapi merupakan sebuah tragedi sosial.


Mantan Kepala Desa: Sosok yang Sepatutnya Disegani dan Disepuhkan

Dalam kultur pedesaan Indonesia, mantan kepala desa bukanlah warga biasa. Ia adalah tokoh sepuh yang telah melewati proses kepemimpinan, membawa desa melewati berbagai dinamika, dan menyisakan jejak pengalaman yang patut dihormati. Idealnya, posisi ini menempatkan mantan kepala desa sebagai:

  • Penasehat yang arif.
  • Penjaga nilai tradisional dan etika desa.
  • Pendukung konstruktif bagi pemimpin yang sedang menjabat.

Namun ketika ia justru berdiri sebagai oposisi, bahkan secara terbuka berseteru atau saling adu argumen dengan kepala desa aktif, maka perannya sebagai tokoh sepuh kehilangan makna.


Tragedi Sosial yang Menggerus Marwah Kepemimpinan

Pertikaian terbuka antara dua pemimpin desa—yang satu mantan dan yang satu sedang menjabat—bukan sekadar konflik personal. Ini adalah pukulan terhadap nilai-nilai luhur dalam kehidupan sosial desa, karena:

  • Menampilkan contoh buruk kepada masyarakat tentang etika kepemimpinan.
  • Mengganggu stabilitas sosial dan pembangunan desa.
  • Memecah belah warga yang terbagi loyalitasnya.

Desa, sebagai ruang harmoni, sejatinya tidak boleh menjadi arena adu gengsi dua generasi kepemimpinan. Ketika ini terjadi, yang hancur bukan hanya relasi antar individu, tetapi juga kepercayaan kolektif warga terhadap pemimpin mereka.


Mengapa Ini Terjadi?

Ada sejumlah sebab mengapa tragedi seperti ini bisa muncul:

  1. Kegagalan Transisi Kepemimpinan
    Tidak adanya proses serah terima yang sehat dan berkelas bisa melahirkan luka batin, saling curiga, atau perasaan tidak dihargai dari pihak mantan.
  2. Ambisi yang Tak Selesai
    Mantan kepala desa yang belum rela melepaskan pengaruh dan kekuasaannya akan kesulitan menerima kenyataan bahwa hari ini bukan lagi masanya.
  3. Komunikasi yang Mandek
    Kepala desa aktif yang enggan melibatkan atau menghargai pendapat mantan juga berkontribusi terhadap renggangnya hubungan.
  4. Minimnya Kelembagaan Tokoh Desa
    Tidak adanya forum atau wadah silaturahmi antara tokoh masyarakat membuat konflik tidak menemukan saluran dialog.

Menjaga Marwah Kepemimpinan: Jalan Menuju Kedewasaan Sosial

Agar desa tidak terus-menerus terjebak dalam konflik kepemimpinan internal, maka beberapa langkah penting perlu dilakukan:

  • Menghidupkan budaya musyawarah dan rekonsiliasi.
    Kepala desa dan mantan kepala desa harus menempatkan kepentingan desa di atas ego pribadi.
  • Membangun forum tokoh desa.
    Sebuah wadah tempat para mantan pemimpin, tokoh adat, dan pemuka masyarakat bisa duduk bersama memberi masukan secara konstruktif.
  • Mengedepankan keteladanan.
    Pemimpin sejati bukan hanya diukur dari kuasa, tapi dari kemampuan mengelola perbedaan dan menahan diri demi kemaslahatan bersama.

Penutup: Pemimpin Sejati Adalah yang Meninggikan Martabat Desa

Kepemimpinan bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang paling mampu menjaga marwah, menghormati yang tua, merangkul yang muda, dan membangun masa depan bersama. Ketika dua tokoh besar dalam sejarah desa justru berseteru secara terbuka, maka yang jatuh bukan hanya mereka, tetapi seluruh sendi kehidupan desa ikut terluka.

Karena itu, rekonsiliasi, komunikasi, dan saling menghormati bukanlah kelemahan—tetapi kekuatan tertinggi dari seorang pemimpin desa sejati.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment