Sejak zaman para nabi, sebuah kalimat penuh makna telah menjadi nasehat dalam dakwah:
“Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.”
(Sabda Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan dalam banyak kitab hadits)
Kalimat ini bukanlah dorongan untuk bebas berbuat tanpa batas, melainkan peringatan keras. Artinya, ketika rasa malu telah hilang dari seseorang, maka tidak ada lagi benteng yang mencegahnya dari melakukan segala bentuk perbuatan buruk.
Relevansi di Zaman Ini
Di era modern, nasihat ini terasa semakin nyata. Banyak orang menilai benar dan salah hanya berdasarkan aturan tertulis — hukum formal — tanpa mempertimbangkan adab dan rasa malu.
Kita melihat, ada yang dengan ringan hati merangkap banyak jabatan, memegang berbagai amanah sekaligus, tanpa rasa sungkan, selama tidak ada aturan yang melarang. Mereka lupa bahwa di tengah masyarakat, ada aturan tak tertulis yang jauh lebih mulia: adab, rasa malu, dan etika moral.
Padahal, dalam tradisi kenabian, adab menduduki posisi yang sangat tinggi, bahkan menjadi penentu baik buruknya akhlak seseorang.
Adab dan rasa malu mengajarkan manusia untuk menjaga sikap, bahkan saat tidak ada yang mengawasi.
Mengapa Rasa Malu Itu Penting?
- Rasa malu adalah benteng terakhir akhlak manusia.
Jika malu hilang, maka manusia akan bebas melakukan apapun, meski bertentangan dengan nilai moral. - Adab lebih tinggi daripada sekadar legalitas.
Apa yang sah menurut hukum belum tentu pantas menurut adab. Hukum mengatur dari luar, adab mengatur dari dalam. - Tanda keserakahan dan ketidakpedulian.
Saat seseorang mengejar jabatan sebanyak-banyaknya tanpa malu, itu menunjukkan kerakusan, keegoisan, dan kelalaian terhadap hak orang lain. - Rasa malu menjaga kehormatan diri dan masyarakat.
Malu bukan berarti lemah; ia justru tanda kekuatan jiwa dan kedewasaan akhlak.
Penutup
Maka, dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu kembali menumbuhkan rasa malu:
- Malu untuk bersikap serakah.
- Malu untuk melanggar adab meski tidak ada yang melihat.
- Malu kepada Allah, malu kepada manusia, dan malu kepada diri sendiri.
Jika rasa malu telah sirna, maka rusaklah tatanan masyarakat, karena manusia tidak lagi mengenal batas.
Sebab itu, rasa malu bukan sekadar sifat pribadi — ia adalah benteng peradaban.
By: Andik Irawan