Di tengah-tengah kehidupan masyarakat, terutama di desa-desa yang tenang, seringkali lahir sosok-sosok yang keberadaannya bagaikan rahmat tersembunyi.
Mereka adalah sesepuh utama agama — figur mulia yang tidak sekadar dihormati, tetapi dijadikan sandaran, tempat bertanya, tempat mencari pencerahan dalam gelapnya zaman.
Namun, siapakah yang bisa memastikan kelahiran tokoh seperti itu?
Apakah seseorang bisa sengaja menyiapkan penerusnya? Apakah bisa seseorang mendidik anaknya, mengajarinya kitab-kitab agama, membentuknya dengan harapan kelak akan menggantikan dirinya sebagai sesepuh utama?
Sejarah membisikkan jawabannya: tidak semudah itu.
Sebuah Jalan yang Tak Bisa Direkayasa
Di banyak desa, para orang tua, guru, bahkan ulama besar tentu menginginkan generasi penerus. Mereka mengajarkan ilmunya, melatih adab, menanamkan nilai-nilai luhur.
Namun, sebaik apapun usaha itu, lahirnya seorang sesepuh utama tetap berada di luar kendali manusia.
Karena menjadi sesepuh utama bukan hanya soal berapa banyak ilmu yang dikuasai.
Bukan pula semata-mata soal garis keturunan.
Melainkan soal ketulusan hati, kejernihan jiwa, kedewasaan akhlaq, dan kedalaman hikmah — kualitas-kualitas langka yang tidak bisa dipaksakan, bahkan oleh orang tua kepada anak kandungnya.
Karena tugas besar ini, hanya Tuhan yang menentukan siapa yang pantas memikulnya.
Allah SWT berfirman:
“Allah mengetahui siapa yang paling pantas menerima risalah-Nya.”
(QS. Al-An’am: 124)
Ketika Cahaya Itu Tiba
Seringkali, kehadiran seorang sesepuh utama justru mengejutkan banyak orang.
Bukan dari anak-anak tokoh besar.
Bukan dari santri yang paling pintar berbicara.
Kadang ia muncul dari pribadi yang sebelumnya tidak banyak diperhatikan — yang diam, yang bersahaja, yang sabar menekuni jalan kebaikan dalam sunyi.
Ia tidak mengiklankan dirinya. Ia tidak memaksa dirinya diakui.
Tapi ketulusan hidupnya, keteguhan ibadahnya, kebeningan akhlaqnya — perlahan tapi pasti, membungkus dirinya dengan wibawa yang memancar alami.
Orang-orang mulai mendatangi, bertanya, meminta doa, mencari nasihat.
Bukan karena ia mencari pengikut, melainkan karena jiwanya menarik hati manusia sebagaimana bunga menarik lebah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia.’ Kemudian Jibril mencintainya dan menyerukan kepada seluruh penghuni langit untuk mencintai si Fulan, lalu ia mendapatkan kecintaan di muka bumi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah, cinta ilahi yang tersembunyi akhirnya tampak dalam bentuk penghormatan manusia.
Tidak Ada Pengkaderan dalam Perkara Ini
Maka, dalam soal sesepuh utama, tidak ada yang namanya pengkaderan dalam arti mutlak.
Yang ada hanyalah usaha mendidik, menanamkan nilai, dan berdoa — namun keputusan akhir tetap di tangan Allah.
Seorang ayah mungkin bisa mewariskan tanah, rumah, atau harta.
Tapi karisma suci, wibawa ruhani, keteguhan akhlaq — itu semua adalah anugerah dari langit, bukan sesuatu yang bisa diwariskan begitu saja.
Sesepuh utama agama hadir seperti cahaya yang Tuhan nyalakan di tengah gelapnya zaman.
Entah dari mana datangnya, entah bagaimana prosesnya, yang jelas, ia hadir membawa rahmat.
Penutup: Belajar Dari Misteri Ini
Apa yang bisa kita ambil dari rahasia ini?
Bahwa tugas kita bukanlah mengejar kehormatan, bukan pula berlomba-lomba menjadi sesepuh.
Tugas kita adalah menjadi sebaik-baik hamba di hadapan Tuhan — menjaga ketulusan, memperbaiki akhlaq, memperdalam ilmu, memperbanyak ibadah, dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.
Karena sesungguhnya, menjadi lentera bagi umat bukan tujuan,
tapi buah dari hidup yang jujur dalam cinta kepada Allah.
Dan siapa tahu, tanpa kita sadari, kelak salah satu dari kita dipilih menjadi cahaya itu — menjadi jawaban atas doa-doa umat yang mengharap bimbingan di tengah dunia yang kian gelap.
By: Andik Irawan