Status Tanah Wakaf: Bolehkah Diambil Kembali Setelah Rumah Ibadah Tidak Dipakai?

Bagikan Keteman :


Di suatu kawasan pedesaan, berdiri sebuah rumah ibadah yang dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan “langgar”. Bangunan sederhana ini telah digunakan oleh warga selama lebih dari tiga dekade. Konon, langgar tersebut adalah hasil wakaf dari seorang dermawan.

Namun seiring berjalannya waktu, rumah ibadah itu tidak lagi digunakan. Akhirnya warga membongkar bangunan tersebut, dan tanah bekas langgar itu diambil kembali oleh pihak keluarga pewakaf, yang menganggapnya kembali sebagai tanah pribadi.

Lalu muncul pertanyaan penting:
Apakah tanah wakaf boleh diambil kembali oleh keluarga pewakaf, apalagi setelah tidak digunakan lagi?

Prinsip Dasar Wakaf: Bersifat Kekal

Dalam ajaran Islam dan hukum positif di Indonesia, wakaf memiliki prinsip dasar yang kekal (ta’bid). Artinya, begitu suatu harta diwakafkan, hak milik pribadi pewakaf lenyap, dan harta tersebut menjadi milik Allah yang dikelola untuk kepentingan umum.

Rasulullah SAW bersabda:

“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)

Wakaf termasuk dalam kategori sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir, selama manfaatnya masih ada.

Jika Tanah Wakaf Tidak Digunakan Lagi

Dalam kondisi seperti ini, yakni bangunan di atas tanah wakaf sudah rusak, tidak difungsikan, atau tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat, maka:

  • Tanah wakaf tetap tidak boleh diambil kembali oleh pewakaf atau ahli warisnya.
  • Status tanah tetap sebagai tanah wakaf.
  • Solusinya: tanah tersebut harus dioptimalkan penggunaannya untuk tujuan lain yang sejalan dengan maksud wakaf, misalnya untuk dibangun fasilitas sosial lain, pendidikan, atau bahkan disewakan untuk kepentingan umat.

Hal ini ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 40:

“Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk:

  1. dijual,
  2. dihibahkan,
  3. diwariskan,
  4. ditukar kecuali dengan tukar guling (dengan persyaratan ketat).”

Artinya, meskipun tanah wakaf tidak lagi dipakai untuk tujuan semula (seperti langgar tadi), tetap tidak boleh dikembalikan menjadi hak milik keluarga pewakaf.

Bagaimana Jika Belum Terdaftar di BWI?

Seringkali tanah wakaf di masa lalu tidak dicatatkan secara resmi ke Badan Wakaf Indonesia (BWI) atau KUA. Namun, dalam hukum Islam, wakaf tetap sah walaupun belum tercatat secara negara, asalkan memenuhi unsur:

  • Ada pernyataan ikrar wakaf,
  • Ada penyerahan kepada nadzir,
  • Ada saksi atau bukti penggunaan umum (seperti langgar yang digunakan warga selama 30 tahun).

Jadi, meskipun belum terdaftar di BWI, tanah itu tetap dihukumi sebagai tanah wakaf dan tidak boleh diambil kembali.

Pihak keluarga pewakaf hanya bisa mengelola tanah itu atas nama nadzir wakaf, bukan sebagai hak milik pribadi.

Kesimpulan

Jawabannya tegas: tidak boleh.
Tanah wakaf, baik yang terdaftar maupun belum terdaftar, tetap berstatus wakaf dan tidak boleh diambil kembali oleh keluarga pewakaf, sekalipun bangunan di atasnya sudah dibongkar.

Jika terjadi situasi seperti ini, seharusnya:

  • Pemerintah desa atau tokoh agama setempat segera menertibkan status tanah itu,
  • Tanah wakaf bisa dialihkan fungsinya untuk keperluan lain yang bermanfaat bagi masyarakat,
  • Atau didaftarkan secara resmi ke BWI untuk perlindungan hukum yang lebih kuat.

Dengan menjaga amanah wakaf, kita tidak hanya melindungi hak masyarakat, tetapi juga menjaga pahala sedekah jariyah pewakaf agar terus mengalir tanpa putus.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment