Menakar Objektivitas dalam Menilai Seorang Tokoh: Mungkinkah?

Bagikan Keteman :


Dalam kehidupan sosial, politik, atau bahkan keagamaan, figur tokoh sering kali menjadi pusat perhatian, pujian, maupun kritik. Namun, penilaian terhadap seorang tokoh acap kali tidak lepas dari subjektivitas: kecenderungan pribadi yang berakar dari rasa suka, identifikasi ideologis, pengalaman, atau bahkan pengaruh lingkungan.

Sering kali, ketika hati telah merasa condong pada seorang tokoh — entah karena kesamaan pandangan, gaya komunikasi, atau narasi yang menggugah — maka akal dan rasio pun bisa ikut terpengaruh. Di sinilah letak masalahnya: penilaian kita menjadi tidak netral, dan justru dibentuk oleh emosi, bukan analisis.

Lalu, muncul pertanyaan penting: adakah ukuran yang bisa digunakan untuk menilai seorang tokoh secara objektif?

1. Rekam Jejak Nyata (Track Record)

Objektivitas bisa dimulai dari melihat apa yang telah dilakukan seorang tokoh, bukan sekadar apa yang dikatakannya. Karya, kontribusi, kebijakan, dan dampaknya terhadap masyarakat adalah indikator nyata yang bisa dinilai.

Seorang tokoh yang banyak berbicara soal keadilan, misalnya, seharusnya bisa ditelusuri rekam jejaknya: apakah ia benar-benar memperjuangkan keadilan dalam tindakan?

2. Konsistensi antara Ucapan dan Tindakan

Apakah tokoh tersebut berjalan seiring dengan prinsip-prinsip yang dikatakannya? Atau justru sering inkonsisten dan berubah haluan ketika kepentingan berubah?

Konsistensi adalah tanda integritas. Tokoh yang objektif bisa dinilai dengan mempertanyakan: apakah ia berpegang pada nilai-nilai yang ia suarakan, bahkan saat itu tidak menguntungkan baginya?

3. Penilaian Lintas Kelompok

Figur yang hanya dipuji oleh kelompoknya sendiri mungkin mencerminkan bias sektoral. Sebaliknya, tokoh yang juga dihargai oleh pihak lain, bahkan oleh yang berbeda pandangan, menunjukkan bahwa kualitasnya melampaui sekat-sekat identitas.

Jika lawan politik pun mengakui kebesaran seorang tokoh, bisa jadi itulah indikasi objektivitas yang patut diperhatikan.

4. Berbasis Data dan Fakta

Objektivitas mengharuskan kita berpijak pada data, bukan semata-mata narasi atau opini. Laporan independen, hasil survei netral, analisis akademik, atau dokumen resmi dapat menjadi dasar menilai kiprah tokoh secara lebih jernih.

5. Dampak pada Masyarakat Luas

Ukuran objektif lainnya adalah melihat seberapa besar dampak positif dari kehadiran tokoh itu terhadap masyarakat luas, bukan hanya kelompok pendukungnya.

Tokoh yang membawa perubahan signifikan dan solutif untuk publik, tanpa diskriminasi, patut mendapat tempat dalam penilaian objektif.

6. Penilaian Sejarah (Time-Tested Evaluation)

Sejarah adalah hakim yang paling sabar dan paling objektif. Banyak tokoh yang dulunya dibenci, justru dikenang sebagai pahlawan setelah waktu membuktikan nilai-nilainya. Objektivitas kadang hanya bisa hadir jika kita mau melihat lintas waktu dan konteks.


Penutup: Menunda Simpati, Mencari Fakta

Objektivitas tidak berarti tanpa pendapat, tapi pendapat yang lahir dari pemikiran yang jernih dan teruji. Alih-alih menyukai dulu lalu membenarkan, sebaiknya kita menilai dulu dengan adil, lalu baru memberi simpati yang wajar.

Dalam era banjir informasi dan polarisasi opini, menjadi objektif adalah kerja keras, tapi bukan mustahil. Dengan kesadaran kritis dan keberanian menahan bias pribadi, kita bisa menilai figur tokoh secara lebih adil — bukan karena kita sepakat dengannya, tapi karena ia memang layak dihargai.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment