Benteng Terakhir yang Runtuh: Saat Pemuka Agama Terbeli Dunia

Bagikan Keteman :


Benteng Terakhir yang Runtuh: Saat Pemuka Agama Terbeli Dunia

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, saat kekuasaan dipertontonkan dan kekayaan diagung-agungkan, bangsa ini perlahan kehilangan daya tahannya. Hukum bisa dibeli, pejabat bisa disewa, dan kebijakan bisa dikendalikan dari luar. Namun di tengah kerapuhan itu, masih ada satu benteng yang dipercaya kokoh—para pemuka agama.

Mereka diharapkan menjadi cahaya di tengah gelapnya kepentingan.
Mereka diharapkan menjadi suara langit di tengah kebisingan dunia.
Mereka diharapkan menjadi penjaga nurani negeri ini.

Namun… apa yang terjadi ketika benteng terakhir itu juga roboh?


Ketika Pemuka Agama Mencintai Dunia

Ketika para tokoh agama—dari berbagai latar keyakinan—mulai terinfeksi virus cinta dunia, semuanya berubah.
Mereka mulai takut miskin.
Mereka mulai takut kehilangan pengaruh.
Mereka mulai takut disingkirkan.
Dan lebih parah: mereka takut berkata jujur karena takut kehilangan kenyamanan.

Maka mulailah:

  • Pengaruh dijual demi jabatan.
  • Doa dibarter demi posisi.
  • Mimbar dijadikan alat politik.
  • Umat digiring bukan menuju surga, tapi ke arah kepentingan duniawi.

Mereka yang seharusnya menjadi pengingat akhirat, justru menjadi pemoles dunia.


Umat Jadi Korban: Dungu, Diam, dan Diperalat

Saat para pemuka agama kehilangan keberanian, umat pun kehilangan arah. Mereka tak lagi kritis. Mereka diam saja meski dizalimi. Mereka membenarkan apa saja yang dikatakan “sang ustaz” atau “sang kyai”—meski hatinya tahu itu keliru.

Umat seperti ini tak ubahnya sekumpulan bebek yang digiring ke kubangan.
Mereka wek-wek-wek beramai-ramai—tapi tanpa sadar, mereka sedang dituntun menuju kehancuran.


Tapi Jangan Putus Asa: Masih Ada Pejuang yang Tak Bisa Dibeli

Di tengah kerusakan ini, harapan belum hilang.
Masih ada pemuka agama yang teguh.
Masih ada yang menolak sogokan, walau hidupnya sederhana.
Masih ada yang berkata jujur, meski dibenci dan diancam.
Masih ada yang tetap menyuarakan keadilan, walau harus berjalan sendiri.

Mereka inilah cahaya terakhir bangsa ini. Dan kita, umat, punya tugas suci:
Mendukung mereka, melindungi mereka, mendengarkan mereka.


Saatnya Kita Bangkit: Jadilah Umat yang Berani

Bangsa ini tak akan selamat jika umatnya:

  • Masih takut miskin.
  • Masih takut susah.
  • Masih takut mati.

Karena penjajahan modern tidak memerlukan senjata.
Penjajahan hari ini cukup membuat manusia takut kehilangan kenyamanan.
Dan saat ketakutan itu tumbuh subur, maka lahirlah bangsa yang bisa dikuasai dengan mudah.

Tapi bangsa ini akan tetap berdiri, jika ada satu saja yang berani berkata:

“Aku tak takut miskin, karena Tuhanku Maha Kaya.”
“Aku tak takut sengsara, karena kebenaran pasti menang.”
“Aku tak takut mati, karena mati mulia lebih baik daripada hidup hina.”


Penutup: Kitalah Benteng Baru Itu

Jika para pemuka agama sebagian telah tumbang, maka kitalah benteng yang harus berdiri.
Kita—umat yang masih sadar, masih punya nurani, masih peduli pada negeri ini—harus bangkit.
Bangkit bukan dengan marah, tapi dengan mencerdaskan diri.
Bangkit bukan dengan membenci, tapi dengan menegakkan kebenaran.
Bangkit bukan untuk mencaci, tapi untuk menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman.

Karena ketika benteng terakhir roboh, Tuhan menanti siapa yang bersedia menjadi penjaga berikutnya. Apakah itu kamu?


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment