Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, saat berita pengkhianatan dan penjajahan modern terus bergema,
di tengah tumpukan kekuasaan yang dipertontonkan dengan pongah,
masih ada satu suara yang lirih,
suara dari jiwa sederhana, yang berkata:
“Siapakah aku ini…?
Aku hanya seonggok diri, tak berdaya.
Jangankan mengurus negara,
mengurus dapur pun kadang masih berantakan.”
Tapi lalu ia menyadari satu hal yang sangat penting:
“Aku masih punya hati.”
Negeri Ini Sedang Dijajah, Tapi Hatiku Masih Merdeka
Aku melihat negeriku tercinta, Indonesia,
pelan-pelan kehilangan jati diri.
Hukum diperjualbelikan.
Kekayaan dikuras habis.
Pemimpin tunduk pada uang dan tekanan asing.
Rakyat dibohongi, dibodohi, dan dipecah belah.
Namun, saat tangan tak mampu menggenggam kekuasaan,
dan kaki tak mampu melangkah ke istana,
aku punya sesuatu yang jauh lebih kuat—
sebuah hati yang sadar dan tak mau tunduk.
Hati Ini Milik Rakyat Biasa, Tapi Tak Biasa
Ya, aku rakyat biasa.
Aku bukan pejabat.
Bukan pengusaha.
Bukan tokoh yang dikenal orang.
Tapi hati ini menangis setiap melihat penindasan.
Hati ini marah setiap melihat ketidakadilan.
Dan hati ini, meski kecil, terus berdoa dengan sepenuh harap:
“Ya Allah, ya Tuhan kami…
Selamatkan negeri ini.
Bangkitkan kembali jiwa-jiwa pahlawan.
Hadirkan anak-anak bangsa yang gagah, jujur, dan berani.
Tegakkan kembali kemerdekaan sejati yang telah lama hilang.”
Ketika Hati Menjadi Benteng Terakhir
Mungkin aku bukan siapa-siapa.
Tapi sejarah telah mencatat:
perubahan besar sering dimulai dari hati kecil yang tak mau menyerah.
- Hati yang tak bisa dibeli.
- Hati yang tak gentar pada ancaman.
- Hati yang terus menyalakan semangat, walau di tengah kegelapan.
Dan selama hati-hati semacam ini masih ada,
bangsa ini belum kalah.
Motivasi Untukmu, Anak Negeri
Wahai kamu yang membaca ini,
jangan remehkan hatimu yang peduli.
Jangan rendahkan dirimu hanya karena engkau bukan siapa-siapa.
Karena perubahan besar tak selalu dimulai dari atas.
Kadang, ia dimulai dari bawah—dari lutut yang bersimpuh dalam doa,
dan dari hati yang menolak untuk mati.
Jika kamu tak bisa memegang senjata,
peganglah doa.
Jika kamu tak bisa bicara di podium,
bicaralah kepada Tuhan.
Jika kamu tak bisa memimpin rakyat,
pimpinlah dirimu sendiri untuk tetap jujur, tetap kuat, dan tetap mencintai negeri ini.
Penutup: Doa dan Harapan Tak Pernah Sia-sia
Negeri ini mungkin sedang terpuruk.
Tapi jika ada satu saja hati yang masih berdoa,
satu saja hati yang masih peduli,
satu saja jiwa yang masih mengangkat harapan—
maka Indonesia masih punya harapan.
Dan bisa jadi,
kebangkitan besar bangsa ini akan dimulai dari hatimu.
By: Andik Irawan