Di tengah dunia yang semakin hiruk-pikuk oleh kepentingan, kebisingan pencitraan, dan kepalsuan yang disepakati bersama, mencari sahabat, teman, atau rekan kerja yang memiliki integritas dalam kejujuran ternyata bukan hal mudah. Bahkan bisa dibilang, semakin hari semakin sulit menemukan satu saja manusia yang benar-benar jujur, serius memegang nilai kejujuran, dan tidak mentolerir kebohongan sekecil apapun.
Kita sering berharap menemukan orang yang bisa kita jadikan sandaran — yang bisa dipercaya tanpa ragu, yang perkataannya bisa dijadikan pegangan, dan yang tindakannya sejalan dengan nilai-nilai luhur. Tapi harapan itu sering pupus di hadapan kenyataan yang menyedihkan.
Kejujuran Itu Mahal, dan Makin Langka
Kejujuran sejati tidak sekadar bicara tanpa bohong. Ia adalah sikap hidup, sebuah keteguhan untuk memegang kebenaran meski harus berhadapan dengan kehilangan, penolakan, dan tekanan. Maka tak heran bila sedikit sekali orang yang mau membayar harga mahal dari kejujuran. Sebagian lebih memilih kenyamanan dalam kebohongan kecil yang “tidak berbahaya”, padahal setiap kebohongan, sekecil apapun, tetap melukai nilai nurani.
Di lingkungan kerja, banyak yang lebih nyaman memanipulasi data demi pencapaian target. Di lingkaran pertemanan, banyak yang menyembunyikan dusta demi menjaga citra. Bahkan dalam lingkup keagamaan, tak sedikit yang merias wajah kejujuran tapi menyembunyikan praktik yang melanggar syariat.
Ketika Topeng Menjadi Norma
Kita hidup dalam zaman di mana topeng lebih dihargai daripada wajah asli. Maka tak heran jika banyak yang kita kira jujur, ternyata menyimpan kebusukan terselubung:
- Ada yang terlihat sopan, religius, dan tenang — tapi ternyata angkuh dan merasa paling suci. Sombong adalah kebohongan terhadap diri sendiri.
- Ada yang pandai bicara tentang etika — namun tega mengambil untung dari kesulitan orang lain. Itu bentuk kebohongan terselubung atas nurani.
- Ada yang kita hormati sebagai tokoh agama — namun ternyata terbiasa menerima “amplop” untuk mempercepat urusan. Itu adalah pengkhianatan terhadap syariat yang mereka ajarkan.
Maka tak mengherankan jika muncul rasa frustasi: “Siapa yang bisa kita teladani? Siapa yang benar-benar jujur di antara kita?”
Kita Bukan Terlalu Kritis, Tapi Dunia Terlalu Longgar pada Dusta
Ini bukan soal kita terlalu menuntut. Justru ini adalah soal bagaimana dunia telah terlalu permisif terhadap kebohongan. Banyak orang lebih takut dikatakan bodoh daripada dikatakan tidak jujur. Banyak yang lebih rela kehilangan integritas daripada kehilangan kesempatan.
Sistem sosial kita bahkan sering memberi ruang besar bagi kepalsuan — asalkan dibungkus rapi, asalkan dikatakan dengan bahasa manis. Orang yang terlalu jujur malah dianggap keras kepala, kaku, tidak bisa “kerja sama”, dan sulit diajak kompromi. Padahal, merekalah penopang terakhir dari sebuah masyarakat yang sehat.
Jangan Kecewa Terlalu Dalam — Karena Dunia Memang Sedang Krisis Teladan
Kita memang sedang berada di masa langka teladan. Di sekitar kita, sangat sulit menemukan figur yang benar-benar lurus dari kata hingga perbuatannya. Tapi justru di sinilah kesadaran kita diuji. Jika dunia kehilangan orang-orang jujur, maka jangan biarkan diri kita ikut menghilang. Kita tak bisa mengubah dunia dalam sekejap, tapi kita bisa memilih untuk tetap lurus, meski berdiri sendirian.
“Jika tidak bisa menemukan manusia jujur, maka jadilah satu dari sedikit yang masih jujur. Jadilah cahaya kecil, di tengah malam yang kelam.”
Penutup: Jadilah Teladan Kecil yang Berarti
Kejujuran tidak membutuhkan panggung besar. Ia hidup dalam keputusan-keputusan kecil: tidak mengambil yang bukan hak, tidak mengubah kata demi menyelamatkan muka, tidak berpura-pura setuju saat hati berkata tidak.
Mungkin kita tidak bisa menyelamatkan dunia. Tapi kita bisa menjaga satu hal: jangan sampai dunia mencuri kejujuran dari dalam diri kita.
Dan jika suatu saat kita berdoa kepada Tuhan untuk dipertemukan dengan orang-orang jujur, mungkin jawabannya adalah ini: “Engkaulah yang Aku pilih untuk menjadi orang jujur itu. Maka tetaplah bertahan.”
“Jujur bukan hanya soal berkata benar, tapi juga berani menanggung akibat dari kebenaran.”
By: Andik Irawan