Ironi Kaum Cendekia: Ketika Pencerah Justru Ikut Memperkeruh Suasana

Ada satu ironi besar dalam setiap kegaduhan sosial: ketika yang mestinya menjadi penyejuk justru menjadi penyulut. Ketika mereka yang diharapkan membawa kebijaksanaan justru larut dalam gelombang emosi massa. Fenomena ini tampak jelas pada kasus kesalahpahaman tayangan Trans 7 tentang dunia pesantren—sebuah kesalahan yang telah diakui dan bahkan sudah disertai permintaan maaf, namun tetap saja dibesar-besarkan hingga melahirkan kehebohan yang tak proporsional. Yang lebih menyedihkan, mereka yang ikut memperkeruh justru datang dari kalangan yang seharusnya paling tenang dan jernih berpikir: kaum cerdik pandai, para penceramah, dan tokoh publik yang dikenal berpendidikan.…

Read More

Proporsional dalam Menyikapi Kesalahan: Jangan Pukul Nyamuk di Dahi dengan Palu Besi

Proporsional dalam Menyikapi Kesalahan: Jangan Pukul Nyamuk di Dahi dengan Palu Besi Dalam kehidupan sosial kita, sering kali muncul fenomena reaksi yang berlebihan terhadap suatu kesalahan kecil. Bahkan ketika pihak yang bersalah sudah mengakui kekeliruannya dan meminta maaf secara tulus, masih saja ada sebagian orang yang memperbesar perkara seolah dunia runtuh karenanya. Padahal, kalau mau jujur, setiap manusia pasti pernah salah. Yang membedakan hanyalah apakah ia mau memperbaiki diri atau tidak. Dalam konteks ini, ada pepatah yang pas untuk menggambarkan sikap berlebihan itu: memukul nyamuk di dahi dengan palu besar.…

Read More

Kesalahan Sudut Pandang: Ketika Cinta dan Adab Dianggap Eksploitasi

Kesalahan Sudut Pandang: Ketika Cinta dan Adab Dianggap Eksploitasi Ada satu hal mendasar yang sering membuat realitas menjadi keliru di mata publik: kesalahan dalam mengambil sudut pandang.Kesalahan kecil pada cara memandang bisa melahirkan kesimpulan yang menyesatkan — bahkan menghancurkan nilai luhur yang telah hidup berabad-abad dalam kebudayaan kita. Inilah yang tampak ketika salah satu media televisi mainstream, Trans7, menyorot fenomena dunia pesantren dari sudut pandang “umum”—sudut pandang modern perkotaan yang serba rasional, material, dan transaksional. Maka muncullah tafsir yang menyesatkan: santri membantu guru dianggap eksploitasi, mencium tangan guru dianggap kultus…

Read More

Ketika Tuhan Menegur Hati yang Keras

Ada jenis hati yang membuat langit muram dan bumi enggan memberi berkah — yaitu hati yang keras, hati yang kehilangan rasa peka terhadap penderitaan sesama, bahkan terhadap derita ibu, ayah, atau saudara sendiri.Hati seperti ini tidak lagi menunduk karena kasih, tidak tergetar karena air mata, dan tidak terusik oleh kesedihan orang-orang dekatnya yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Kelak, hati seperti ini pasti akan menyesal.Dan yang lebih menakutkan dari penyesalan itu adalah: Tuhan tidak sudi terhadap hati yang keras — hati yang dipenuhi ego, sibuk dengan kepentingan diri, dan tuli terhadap…

Read More

Ketika Hati Tak Lagi Peka: Memahami Hilangnya Rasa Empati

Ketika Hati Tak Lagi Peka: Memahami Hilangnya Rasa Empati Ada satu hal yang membuat manusia tetap disebut manusia — rasa kasihan. Dari rasa kasihan itulah lahir kepedulian, belas kasih, dan dorongan untuk membantu orang lain, terutama mereka yang dekat dalam lingkar keluarga dan kerabat.Namun, mengapa ada orang yang mudah tergerak hatinya melihat penderitaan orang lain, sementara sebagian justru begitu dingin, bahkan kepada ibunya sendiri? Di sinilah misteri hati manusia bermula. 🌿 Empati, Getaran dari Hati yang Hidup Empati bukan sekadar kemampuan berpikir atau memahami keadaan seseorang. Ia adalah getaran halus…

Read More