Memahami Status Panitia Qurban: Bukan Wakil, Tapi Relawan Mulia

Bagikan Keteman :


Memahami Status Panitia Qurban: Bukan Wakil, Tapi Relawan Mulia

Setiap Idul Adha, umat Islam melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Dalam pelaksanaannya, biasanya dibentuk panitia qurban yang membantu proses penyembelihan, pengemasan, dan pendistribusian daging. Namun, sering terjadi kebingungan atau kesalahpahaman tentang status dan hak panitia qurban, khususnya dalam hal pemberian bagian hewan qurban seperti daging, kulit, kepala, dan sebagainya.

Agar ibadah qurban berjalan sah dan berkah, penting untuk memahami dengan benar posisi panitia dan batasan pemberian dari shohibul qurban (orang yang berqurban).


1. Panitia Qurban Bukan Wakil Syariat, Tapi Sukarelawan

Pertama-tama, perlu diluruskan bahwa panitia qurban bukanlah wakil dalam pelaksanaan ibadah qurban, kecuali bila ditunjuk secara eksplisit oleh shohibul qurban dalam akad wakalah. Umumnya, panitia berperan sebagai relawan teknis yang membantu pelaksanaan qurban secara kolektif.

Mereka bekerja:

  • Membantu menyembelih dan memotong hewan qurban
  • Mengemas dan mendistribusikan daging
  • Menjaga sistem dan administrasi pelaksanaan qurban

Namun semua itu dilakukan atas dasar kerelaan, tanpa kontrak kerja atau upah, melainkan sebagai bentuk kontribusi sosial-ibadah yang mulia.


2. Kerja Panitia Harus Dilandasi Keikhlasan

Panitia qurban bekerja secara sukarela, ikhlas, dan tanpa pamrih. Tidak ada sistem gaji, honor, atau upah yang melekat pada tugas mereka. Dalam Islam, jika ibadah qurban disertai dengan pembagian bagian hewan qurban sebagai imbalan jasa, maka bisa menggugurkan kesempurnaan ibadah qurban.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya, maka tidak ada (pahala) qurban baginya.”
(HR. Al-Hakim)


3. Bolehkah Panitia Menerima Bagian dari Hewan Qurban?

Boleh. Shohibul qurban diperbolehkan memberikan sebagian bagian hewan qurban kepada panitia dengan syarat: pemberian itu murni sebagai hadiah (hibah), bukan upah kerja.

Artinya:

  • Tidak boleh ada akad atau kesepakatan: “Kalau kamu bantu, nanti dapat bagian.”
  • Tapi boleh: “Ini bagian untuk kalian sebagai bentuk terima kasih.”

Karena itulah, niat dari shohibul qurban sangat penting. Pemberian harus murni suka-suka, sebagai bentuk penghargaan atau hadiah, bukan kompensasi atas jasa.


4. Hak Panitia Setelah Menerima Pemberian

Setelah panitia menerima pemberian dari shohibul qurban (daging, kulit, kepala, dsb), maka statusnya sah sebagai milik pribadi mereka. Karena itu:

  • Boleh dimasak untuk makan bersama
  • Boleh dijual
  • Boleh diberikan kepada keluarga atau orang lain
  • Boleh disimpan untuk konsumsi pribadi

Semua itu sah secara syariat, karena sudah menjadi hak milik penuh panitia berdasarkan pemberian suka rela, bukan upah kerja.


5. Menghindari Kesalahan Niat: Wajib Dipahami oleh Semua Pihak

Kesalahan dalam niat dan praktik bisa berdampak pada sah atau tidaknya ibadah qurban. Oleh karena itu:

  • Shohibul qurban harus berhati-hati agar tidak menjadikan pemberian kepada panitia sebagai bentuk pembayaran jasa.
  • Panitia qurban juga harus menjaga niat, bekerja dengan tulus sebagai ibadah, bukan mencari materi.

Penutup: Semangat Sosial dan Keikhlasan dalam Qurban

Qurban adalah ibadah mulia yang tidak hanya menunjukkan ketaatan kepada Allah, tetapi juga kepedulian sosial. Panitia qurban memegang peran penting dalam mewujudkan distribusi yang adil dan amanah. Tapi semua itu harus dilakukan dalam bingkai niat yang ikhlas, tata cara yang benar, dan pengelolaan yang penuh tanggung jawab.

Semoga dengan memahami hal ini, pelaksanaan qurban kita semakin sah, berkah, dan menjadi amal jariyah bagi semua pihak yang terlibat.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment