Paradoks Pedih Pejuang Agama: Ketika Semangat Membara Tidak Sejalan dengan Syariat
Ada satu paradoks yang sangat perih dan memilukan di tengah kehidupan keagamaan kita hari ini: kita melihat sekelompok orang yang sangat militan dan vokal sebagai “pejuang agama”. Mereka aktif dalam berbagai organisasi dakwah, lantang bersuara membela Islam, bahkan terkadang sangat keras menilai orang lain. Namun yang menyayat hati—justru di antara mereka, ada yang menjadi pelanggar syariat itu sendiri.
Bagaimana mungkin orang yang berseru-seru tentang kebenaran, justru menabrak kebenaran itu sendiri?
Ini adalah luka sosial dan spiritual yang tak mudah diobati. Fenomena ini tidak hanya membingungkan, tetapi juga bisa menggoyahkan kepercayaan publik terhadap agama jika tidak kita pahami dengan jernih.
Mari kita telaah lebih dalam.
1. Disonansi Kognitif: Percaya Satu Hal, Bertindak Sebaliknya
Secara psikologis, manusia bisa hidup dalam dua realitas yang saling bertolak belakang—mereka tahu dan percaya pada suatu nilai, tetapi gagal menjalankannya. Ini disebut disonansi kognitif. Dalam konteks ini, seseorang bisa sangat percaya bahwa menegakkan syariat itu wajib, namun tetap melakukan korupsi, dusta, atau kekerasan.
Kondisi ini seringkali tidak disadari. Semangat mereka besar, tetapi tidak diiringi dengan introspeksi yang jujur.
2. Simbolisme Tanpa Substansi
Banyak orang mencintai simbol-simbol agama: pakaian syar’i, jargon-jargon perjuangan, bendera, istilah-istilah Arab. Namun, substansi ajaran agama—seperti kejujuran, kasih sayang, kesabaran, dan adab—malah diabaikan. Agama berubah menjadi identitas kelompok, bukan sebagai jalan pembersih jiwa.
Mereka tampak agamis, tapi belum tentu religius secara ruhani.
3. Nafsu Dibungkus Agama
Imam al-Ghazali pernah menyindir fenomena ini: orang-orang yang tampaknya membela agama, padahal sedang membela ego atau ambisi pribadi. Retorika jihad bisa menjadi selubung bagi keinginan berkuasa, popularitas, atau keuntungan materi.
Dalam kondisi seperti ini, agama hanya menjadi alat pembenar, bukan tujuan hidup.
4. Ketika Tidak Ada Muhasabah Diri
Salah satu krisis utama dari para aktivis agama yang kehilangan arah adalah hilangnya muhasabah (introspeksi diri). Mereka sibuk memperbaiki orang lain, tapi tidak sempat mengoreksi dirinya sendiri. Semakin tinggi posisi, semakin kuat pembenaran diri. Akibatnya, lahirlah sikap keras, mudah menghakimi, dan merasa paling benar.
5. Nifaq Zaman Modern
Para ulama menyebutnya nifaq zaman modern—kemunafikan dalam bentuk baru. Dulu, orang munafik menyembunyikan keburukan. Kini, ada yang berani membawa bendera agama untuk membenarkan kesalahan terang-terangan. Ini bukan lagi penyimpangan individu biasa, tapi bisa menjadi fitnah besar bagi umat.
Lalu, Apa Sikap Kita?
Menghadapi fenomena semacam ini tidak mudah. Tapi ada beberapa prinsip penting agar kita tidak ikut terombang-ambing:
- Istiqamah menjaga diri, jangan ikut-ikutan keras karena kecewa terhadap mereka.
- Bedakan antara ajaran Islam dan perilaku sebagian pengusungnya. Islam tetap suci, meski ada umatnya yang tercela.
- Doakan mereka, bukan hanya mencela. Bisa jadi mereka tersesat karena kebodohan, bukan niat jahat.
- Beri teladan. Jadilah pribadi yang mencintai agama dengan penuh akhlak dan kasih, bukan hanya dengan amarah dan slogan.
Penutup: Agama Itu Cahaya, Bukan Api
Agama bukan untuk membakar, tetapi untuk menerangi. Ketika ada orang yang memakai agama untuk memukul dan membenarkan dosa, kita harus berani berkata: “Itu bukan wajah Islam yang sejati.”
Jangan pernah berhenti mencintai agama hanya karena melihat orang-orang yang mencemari nama-Nya.
Dari kepedihan ini, semoga lahir semangat baru: menjadi pejuang agama yang jujur, lembut, rendah hati, dan penuh kasih—sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
By: Andik Irawan