Fenomena paradoks sosial-keagamaan di tingkat desa, di mana pekerjaan yang paling berat secara mental dan spiritual justru tidak mendapat penghargaan yang layak, baik secara moral maupun material.
Modin Kematian—Pekerjaan Berat yang Tak Dianggap Berat
Di banyak desa, kita mendengar keluhan yang sama: sulit mencari orang yang bersedia menjadi modin kematian. Padahal tugasnya sangat mulia dan sangat penting—mengurus jenazah, memandikan, mengkafani, hingga mengantar ke liang lahat. Pekerjaan ini tidak hanya menuntut ketahanan mental dan nyali, tetapi juga kemampuan teknis, keikhlasan, dan kesiapan spiritual.
Namun anehnya, pekerjaan ini seringkali tidak diapresiasi secara layak, bahkan tak jarang tidak digaji sama sekali. Dianggap tugas “suka rela”, dianggap “urusan akhirat”, dan karena itu tak perlu dibayar. Inilah salah satu ironi sosial yang nyata.
1. Pekerjaan dengan Resiko Mental Tinggi
Menjadi modin kematian bukan pekerjaan ringan:
- Harus selalu siap dipanggil kapan pun, bahkan tengah malam.
- Menghadapi situasi duka dan kepanikan keluarga.
- Mengelola jenazah dalam berbagai kondisi, termasuk yang tragis atau rusak.
- Menjaga ketenangan, membaca doa, bertindak sesuai syariat.
Secara psikologis, ini adalah beban berat, bahkan tidak semua orang sanggup bertahan di pekerjaan ini. Namun justru karena “tidak menghasilkan”, profesi ini sering dianggap pekerjaan sosial belaka.
2. Ketika Profesi Keikhlasan Dianggap Tak Bernilai
Inilah akar dari masalahnya: profesi keikhlasan dianggap tidak perlu dihargai secara duniawi. Padahal, ikhlas bukan berarti tak boleh diberi. Dalam Islam, seseorang yang menjalankan tugas fardu kifayah atas nama masyarakat berhak diberi imbalan sebagai bentuk penghargaan dan keberlangsungan peran.
Sayangnya, dalam banyak budaya desa, modin kematian dianggap:
- “Sudah kewajiban agama”
- “Nanti dapat pahala sendiri”
- “Bukan pekerjaan duniawi”
Padahal tanpa kehadiran mereka, masyarakat akan bingung dan tidak bisa mengurus jenazah secara benar.
3. Ini Fenomena Apa?
Fenomena ini bisa disebut sebagai “krisis apresiasi pada profesi keikhlasan”, yakni ketidakmampuan masyarakat dalam membedakan antara penghargaan dan pamrih. Mereka mengira bahwa memberi penghargaan berarti mengurangi nilai keikhlasan. Padahal Islam justru mendorong penghargaan terhadap kerja keras dan kontribusi sosial, terlebih yang berkaitan dengan agama.
Juga bisa dikategorikan sebagai “ketimpangan nilai sosial”—di mana pekerjaan yang sebenarnya penting dan berat, diposisikan rendah karena tidak berorientasi uang, sementara pekerjaan berisiko lain seperti proyek konstruksi atau keamanan diberi honor besar.
4. Solusi dan Kesadaran Baru
Sudah saatnya masyarakat desa:
- Membentuk sistem insentif tetap untuk modin kematian dari kas desa, masjid, atau sedekah warga.
- Membangun kesadaran kolektif bahwa apresiasi bukan lawan dari keikhlasan.
- Melibatkan generasi muda untuk belajar dan mewarisi pengetahuan pengurusan jenazah.
- Mengadakan pelatihan rutin agar ada regenerasi dan distribusi tugas.
Penutup: Jangan Sepelekan Pekerjaan Pengurus Jenazah
Modin kematian adalah penjaga terakhir kehormatan jenazah, pelayan umat hingga titik akhir kehidupan. Mengabaikan mereka berarti mengabaikan akhir hidup kita sendiri. Sudah waktunya desa-desa di Indonesia berani memberi penghargaan yang layak pada profesi ini—bukan karena mereka meminta, tapi karena kita semua berutang budi pada keberanian dan pengabdian mereka.
By: Andik Irawan