Ironi TPA yang Maju, Masjid yang Sepi: Mencari Ruh yang Hilang dari Maghrib hingga Isya
Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan kemajuan signifikan dalam lembaga pendidikan Al-Qur’an, yang dikenal sebagai Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Bangunan bertingkat, guru-guru yang profesional (ustadz dan ustadzah), kurikulum terstruktur, hingga sistem pengajaran yang lebih modern menjadi ciri khas TPA masa kini. Anak-anak belajar Al-Qur’an dengan lebih serius dan dalam waktu yang lebih panjang, bahkan sering kali berlangsung dari siang hingga sore hari.
Namun di balik kemajuan ini, tersimpan sebuah ironi yang menggelitik nurani: masjid dan musholla kini menjadi sunyi di waktu Maghrib hingga Isya. Dulu, masa-masa selepas Maghrib menjadi saat yang hidup, ketika anak-anak berkumpul di serambi masjid untuk mengaji “deproan” — duduk bersila, membawa Iqra’ atau Al-Qur’an, sambil menunggu giliran setoran bacaan kepada ustadz atau ustadzah kampung. Suasana penuh tawa, teguran lembut, dan kebersamaan menjadi pemandangan yang akrab.
Kini, pemandangan itu perlahan lenyap. Masjid dan musholla yang dulunya penuh canda dan tilawah anak-anak, kini senyap selepas adzan Maghrib. Tidak ada lagi suara anak-anak mengulang hafalan, tidak ada lagi obrolan orang tua yang menunggu anaknya. Sebuah perubahan yang memunculkan pertanyaan penting: ke mana perginya suasana hangat itu?
Memahami Fenomena Ini
Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan perubahan ini:
1. Pergeseran Pola Pendidikan
Model pendidikan Al-Qur’an kini lebih formal dan terstruktur. Anak-anak sudah menghabiskan energi untuk belajar di TPA siang hingga sore, sehingga selepas Maghrib mereka merasa lelah atau tidak lagi memiliki kewajiban mengaji.
2. Perubahan Sosial Masyarakat
Dulu, masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat interaksi sosial. Kini, masyarakat semakin individualistik. Waktu malam digunakan untuk aktivitas pribadi, seperti menonton televisi, bermain gawai, atau menyelesaikan tugas sekolah.
3. Minimnya Sinergi antara TPA dan Masjid
Sering kali, TPA berdiri terpisah dari masjid. Kegiatan TPA tidak dilanjutkan atau tidak melibatkan penghidupan masjid selepas Maghrib. Akibatnya, masjid tetap sunyi walau anak-anak sudah belajar Al-Qur’an.
4. Kehilangan Tradisi Lokal
Kegiatan “deproan” bukan sekadar belajar, tetapi juga tradisi sosial keagamaan yang membentuk karakter dan kebersamaan. Ketika tradisi ini hilang, ruh spiritualitas dan kehangatan sosial pun turut memudar.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kita tidak harus menolak kemajuan TPA, tetapi perlu mengintegrasikan kemajuan itu dengan fungsi sosial dan spiritual masjid. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain:
- Mengaktifkan kembali kegiatan selepas Maghrib di masjid dan musholla dengan model yang kreatif dan menyenangkan, seperti muraja’ah bersama, kuis Islami, atau majelis cerita sahabat Nabi.
- Membangun sinergi antara TPA dan takmir masjid, agar program pendidikan dapat menghidupkan masjid, bukan hanya gedung lembaga.
- Melibatkan orang tua dan masyarakat untuk kembali melihat masjid sebagai pusat pembinaan karakter anak.
Penutup
Fenomena ini bukan sekadar tentang sepinya masjid selepas Maghrib, melainkan tentang bagaimana kita menjaga ruh kebersamaan dan spiritualitas di tengah kemajuan zaman. TPA yang maju seharusnya tidak menjadi akhir dari tradisi lama yang baik, melainkan menjadi jembatan untuk menghidupkan kembali suasana masjid yang hangat, ramah, dan penuh cahaya Al-Qur’an.
By: Andik Irawan