Siapa Bertanggung Jawab Meluruskan Kesalahan Data Wakaf?

Bagikan Keteman :


Dalam sejarah wakaf di banyak desa, sering ditemukan adanya kekeliruan dalam pencatatan, terutama terkait nama pewakif. Tidak jarang nama kepala desa tercatat sebagai pewakif, padahal tanah tersebut berasal dari warga biasa yang menyerahkan tanahnya dengan ikhlas untuk kepentingan umat. Kesalahan ini, bila tidak segera diluruskan, berpotensi menimbulkan sengketa, mengaburkan niat pewakif asli, dan merusak amanah wakaf itu sendiri.

Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab untuk meluruskan kesalahan ini?

1. Nadzir: Penjaga Amanah Wakaf

Sebagai pihak yang menerima dan mengelola wakaf, nadzir memegang tanggung jawab terbesar.
Dalam syariat Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, nadzir berkewajiban:

  • Mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya,
  • Menjaga kebenaran data dan asal usul wakaf,
  • Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi kesalahan atau penyimpangan.

Jika nadzir mengetahui adanya kesalahan dalam pencatatan pewakif tetapi diam atau bahkan menutupi fakta, maka nadzir telah melakukan pelanggaran amanah, yang berdampak pada:

  • Hilangnya hak pewakif asli,
  • Rusaknya kepercayaan masyarakat,
  • Potensi dosa khianat terhadap amanah wakaf.

Karena itu, nadzir wajib mengambil inisiatif untuk:

  • Menelusuri kebenaran sejarah wakaf,
  • Mengumpulkan bukti atau saksi,
  • Mengusulkan perbaikan data ke instansi resmi.

2. Pemerintah Desa: Fasilitator Perbaikan Administrasi

Pemerintah desa juga memiliki tanggung jawab besar, mengingat:

  • Kesalahan administrasi awal biasanya melibatkan aparat desa,
  • Buku tanah wakaf desa menjadi rujukan resmi,
  • Pemerintah desa berwenang mengadakan musyawarah dan membuat berita acara klarifikasi.

Maka, pemerintah desa harus:

  • Membuka akses sejarah dan dokumen terkait,
  • Menyelenggarakan musyawarah desa untuk mengklarifikasi pewakif asli,
  • Mendukung proses perubahan data administratif ke KUA atau BWI.

Pemerintah desa tidak boleh mengabaikan atau menganggap enteng kesalahan ini, karena urusan wakaf adalah urusan amanah umat, bukan sekadar masalah administratif biasa.

3. KUA dan Badan Wakaf Indonesia (BWI): Pengawas Legalitas Wakaf

Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pihak yang membawahi pencatatan ikrar wakaf di tingkat kecamatan, dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga nasional wakaf, mempunyai peran:

  • Menerima laporan kesalahan data,
  • Membimbing proses klarifikasi sejarah wakaf,
  • Menerbitkan dokumen perubahan (pembaruan ikrar atau pencatatan ulang wakaf).

KUA dan BWI harus bersikap terbuka dalam menerima pengajuan revisi asal berdasarkan bukti sah, bukan terkungkung pada data lama yang sudah terbukti keliru.

4. Ahli Waris Pewakif Asli: Pendukung Klarifikasi Sejarah

Jika keluarga atau ahli waris pewakif asli masih ada, mereka juga berhak dan berkewajiban membantu:

  • Memberikan kesaksian tertulis atau lisan,
  • Menyampaikan bukti-bukti sejarah,
  • Membuat surat pernyataan tentang riwayat wakaf.

Peran keluarga pewakif ini sangat penting untuk menguatkan legitimasi koreksi data, terutama jika disertai testimoni para saksi hidup dari masyarakat.


Kesimpulan: Meluruskan Amanah, Menjaga Keberkahan

Wakaf bukan sekadar pemberian biasa; ia adalah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir hingga hari kiamat.
Kesalahan dalam pencatatan pewakif, meskipun berawal dari niat baik di masa lalu, tidak boleh dibiarkan.
Meluruskan kebenaran adalah bagian dari menjaga amanah agama, menghormati pewakif, serta menjaga keberkahan harta wakaf.

Oleh karena itu:

  • Nadzir wajib menjadi pelopor perbaikan,
  • Pemerintah desa wajib memfasilitasi dan mendukung,
  • KUA dan BWI wajib menerima dan mengesahkan perubahan,
  • Ahli waris pewakif wajib membantu memperjelas sejarah.

Meluruskan catatan wakaf yang keliru adalah tanggung jawab kolektif.
Sebab, amanah wakaf adalah titipan suci — untuk dunia dan akhirat.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment