Di era modern yang serba canggih ini, manusia tampaknya telah mengalami sebuah paradoks besar: semakin maju teknologinya, semakin jauh pula ia dari jati dirinya. Teknologi yang semestinya menjadi alat bantu, perlahan-lahan menjelma menjadi “tuan” yang menjajah waktu, pikiran, bahkan ruhani manusia.
Manusia modern adalah manusia yang paling rentan dijajah oleh kecanggihan ciptaannya sendiri. Dulu, siang dan malam menjadi penanda ritme kehidupan—bekerja di siang hari, beristirahat di malam hari. Kini, dengan hadirnya listrik dan lampu terang, batas siang dan malam seakan mengabur. Banyak orang yang terus terjaga hingga larut malam, bukan karena kebutuhan, melainkan karena candu pada layar: entah bermain game, menonton konten, atau sekadar scroll tanpa arah.
Kecanggihan teknologi juga membentuk karakter baru: serba cepat, tergesa-gesa, dan tidak sabar. Kehadiran alat transportasi super cepat—kereta, pesawat, lift, mobil—membentuk manusia yang tidak tahan dengan keterlambatan. Waktu dianggap segalanya, tetapi anehnya, justru sering dihabiskan untuk hal-hal yang tidak memberi nilai berarti.
Secara sosiologis, manusia modern hidup dalam budaya konsumsi yang berlebihan. Segalanya harus instan, mudah diakses, dan selalu baru. Gawai bukan hanya alat komunikasi, tetapi telah menjadi identitas sosial. Ironisnya, dalam koneksi yang begitu luas, manusia merasa makin kesepian. Ia kehilangan keintiman, kehilangan percakapan yang jujur, dan bahkan kehilangan dirinya sendiri.
Dari sisi psikologis, ritme hidup yang tak kenal henti menyebabkan kelelahan mental dan kecemasan yang meningkat. Otak manusia tidak didesain untuk terus menyerap rangsangan tanpa jeda. Ketika tidak ada ruang untuk diam dan hening, maka jiwa pun sulit menemukan ketenangan.
Dan yang paling dalam, secara spiritual, manusia modern kian terputus dari ketundukannya kepada Tuhan. Hidup diatur oleh algoritma, bukan oleh nilai-nilai luhur. Kesibukan dan pencapaian menjadi pusat makna, menggantikan keikhlasan dan tujuan hakiki.
Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Memahami situasi ini adalah langkah pertama menuju kesadaran baru. Manusia perlu merebut kembali kendali atas hidupnya. Teknologi harus kembali diposisikan sebagai alat bantu, bukan pengendali. Diperlukan langkah-langkah seperti digital mindfulness, memperbanyak waktu hening, memperlambat ritme hidup (slow living), dan kembali merapat pada nilai-nilai spiritual.
Kita bukan ciptaan teknologi. Kita adalah makhluk yang diberi akal, hati, dan ruh. Maka, mari kita hidup dengan kesadaran, bukan sekadar kecepatan. Mari kembali menjadi manusia.
By: Andik Irawan