Banjir Informasi, Hati yang Melarat: Krisis Jiwa di Zaman Serba Tahu

Bagikan Keteman :


Semakin hari, kehidupan manusia terus bergerak menuju era yang disebut “super-modern”. Segalanya menjadi cepat, praktis, dan instan. Berkat teknologi, informasi kini hadir dalam genggaman—cukup satu sentuhan, dunia pun terbuka. Kita bisa mengetahui peristiwa di belahan bumi mana pun dalam hitungan detik. Namun, di balik kemudahan ini, tersimpan persoalan besar yang kian meresahkan: beban jiwa yang makin berat, hati yang makin melarat.

Semakin Banyak Tahu, Semakin Banyak Galau

Dulu, manusia hanya mengetahui hal-hal di sekitarnya. Ia cukup memikirkan sawahnya, tetangganya, atau keluarganya. Kini, manusia modern mengetahui segalanya—isu politik dunia, bencana global, konflik sosial, perdebatan agama, bahkan gosip artis luar negeri. Yang jadi masalah, semua itu masuk ke dalam pikiran dan hati, tanpa filter dan tanpa jeda.

Ironisnya, semakin banyak yang kita ketahui, semakin berat pula yang harus kita tanggung di dalam batin. Kita merasa khawatir, marah, cemas, atau sedih terhadap sesuatu yang bahkan tidak bisa kita ubah. Hati pun jadi penuh sesak oleh masalah dunia yang bukan milik kita. Ini adalah bentuk kelelahan jiwa akibat banjir informasi—sebuah penyakit zaman yang tak terlihat, namun menghancurkan perlahan.

Otak yang Penuh, Hati yang Letih

Secara psikologis, otak manusia memiliki kapasitas terbatas dalam menyerap dan memproses informasi. Ketika terlalu banyak informasi yang masuk, otak mengalami kelelahan yang disebut mental fatigue atau information overload. Kita menjadi mudah lelah, sulit konsentrasi, cepat cemas, dan kehilangan ketenangan.

Lebih dalam lagi, hati manusia juga punya batas untuk menampung beban batin. Ketika hati terus-menerus dijejali berita buruk, opini panas, dan konflik-konflik digital, ia kehilangan kejernihan dan kekhusyukan. Padahal, hati adalah tempat iman bersemayam. Jika ia kotor dan bising, maka hubungan kita dengan Allah pun menjadi pudar.

Islam dan Etika Menyerap Informasi

Islam sejak awal telah mengajarkan keseimbangan dalam menyerap dan menyampaikan informasi. Rasulullah SAW bersabda:

“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)

Ini adalah prinsip emas yang kini semakin ditinggalkan. Media sosial menjadikan kita haus akan segala informasi, padahal tidak semua yang bisa kita ketahui, harus kita ketahui. Ilmu yang tidak bermanfaat justru bisa menjadi racun batin.

Solusi: Puasa Informasi dan Kembali ke Keheningan

Untuk kembali menyehatkan jiwa, kita perlu belajar mengurangi konsumsi informasi yang tidak perlu. Lakukan “puasa informasi”—tetapkan waktu untuk berhenti dari berita, media sosial, atau hal-hal yang menambah beban pikiran. Gantilah waktu itu dengan membaca Al-Qur’an, dzikir, atau menulis jurnal diri. Carilah ruang sunyi di antara hiruk-pikuk dunia.

Teknologi harus menjadi alat, bukan tuan. Informasi harus dipilih, bukan ditelan mentah.


Penutup: Ketenangan Ada pada Kesederhanaan

Di zaman serba tahu ini, manusia butuh lebih banyak hening daripada bicara. Butuh lebih banyak zikir daripada berita. Butuh lebih banyak perenungan daripada konsumsi data.

Karena hakikatnya, kebahagiaan tidak datang dari banyaknya yang kita ketahui, tapi dari sejauh mana hati ini tetap bersih, tenang, dan terhubung kepada Allah. Dunia boleh semakin ramai, tapi hati kita harus tetap damai.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment