Memahami Kompleksitas Persoalan Tanah: Antara Legalitas dan Legitimasi

Bagikan Keteman :


Memahami Kompleksitas Persoalan Tanah: Antara Legalitas dan Legitimasi

Persoalan tanah di Indonesia tidak hanya menyangkut aspek hukum dan administrasi, tetapi juga berkelindan dengan sejarah, budaya, dan rasa keadilan sosial. Di satu sisi, tanah adalah objek hukum yang diatur melalui sistem administrasi formal. Namun di sisi lain, tanah juga adalah bagian dari sejarah penguasaan dan hubungan sosial masyarakat, yang tidak selalu tercatat dalam sistem legal negara.

Sering kita jumpai kasus di mana status administrasi tanah tampak jelas dan sah secara hukum—dilengkapi sertifikat, surat jual beli, atau akta waris. Namun dalam praktiknya, muncul sengketa karena ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut berdasarkan penguasaan turun-temurun, ikatan adat, atau sejarah pemanfaatan yang panjang.

Hal ini menunjukkan bahwa persoalan tanah tidak bisa dipahami secara hitam-putih. Dimensi legal-formal memang penting, tetapi tidak boleh mengabaikan dimensi sosial-historis yang menyertainya. Hak atas tanah, dalam kenyataannya, tidak hanya dibentuk oleh hukum positif, tetapi juga oleh legitimasi yang hidup dalam masyarakat.

Konflik tanah sering kali muncul karena adanya kesenjangan antara legalitas dan legitimasi. Legalitas berbicara soal hukum formal dan administrasi negara, sementara legitimasi berbicara soal penerimaan sosial dan sejarah penguasaan. Ketika legalitas tidak diimbangi dengan legitimasi, maka hukum bisa dianggap tidak adil. Sebaliknya, ketika legitimasi tidak didukung oleh legalitas, maka hak tersebut rentan untuk dipatahkan oleh hukum formal.

Dalam konteks ini, penyelesaian konflik tanah harus melibatkan pendekatan yang komprehensif. Negara tidak boleh hanya menjadi penegak hukum administratif, tetapi juga harus menjadi mediator yang sensitif terhadap sejarah lokal, adat, dan rasa keadilan masyarakat. Proses mediasi dan rekonsiliasi menjadi penting untuk menjembatani perbedaan antara dokumen dan kenyataan sosial.

Perlu juga dibangun kesadaran bahwa pengurusan administrasi tanah bukanlah sekadar kewajiban birokratis, tetapi juga bagian dari perlindungan hak jangka panjang. Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberi ruang untuk mengakui dan memperkuat legitimasi historis yang sah melalui mekanisme hukum yang adaptif dan akomodatif terhadap kenyataan sosial.

Dengan memahami kompleksitas persoalan tanah secara lebih menyeluruh—antara legalitas dan legitimasi—kita bisa berharap terciptanya keadilan agraria yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berkeadaban.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment