Mengapa Saya Memilih Islam: Ketika Akal Bertemu Iman
Indonesia adalah negeri yang kaya keyakinan. Enam agama diakui secara resmi, dan masyarakatnya hidup dalam pluralitas keyakinan yang luar biasa. Dalam kondisi ini, setiap individu diberi ruang untuk mencari, menimbang, dan menetapkan jalan hidup spiritualnya.
Bagi sebagian orang, agama adalah warisan — didapat dari orang tua dan dilanjutkan begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Namun bagi sebagian lainnya, agama adalah hasil dari pencarian sadar, melalui perenungan akal dan pembuktian logika.
Saya termasuk dalam golongan kedua. Meski sejak lahir memeluk Islam karena keturunan, keputusan untuk tetap memeluk Islam bukan karena ikut-ikutan, tapi karena kesadaran penuh. Bukan karena tradisi, tapi karena akal telah menuntun saya ke sana.
Islam: Dekat dengan Logika, Erat dengan Fitrah
Dalam proses pencarian dan pemikiran, saya mendapati bahwa agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan akal sehat dan logika sederhana. Beberapa alasannya:
- Konsep Tuhan yang Tunggal (Tauhid):
Islam menegaskan bahwa Tuhan itu satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak setara dengan apapun. Ini sejalan dengan logika dasar tentang keteraturan semesta yang membutuhkan satu pengatur tunggal. - Struktur Pewahyuan yang Masuk Akal:
Dalam Islam, wahyu diturunkan dari Tuhan kepada malaikat Jibril, lalu disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai manusia pilihan. Proses ini tidak melanggar logika sebab Tuhan berada di luar jangkauan langsung manusia. - Isi Ajaran yang Menyatu dengan Nalar dan Nurani:
Islam mengajarkan keadilan, kebersihan hati, tanggung jawab, berpikir ilmiah, dan menekankan pencarian ilmu sebagai bagian dari ibadah. Bahkan ayat pertama yang turun adalah “Iqra” — bacalah.
Islam dan Sains: Firman Tuhan yang Dibuktikan Zaman
Salah satu hal yang memperkuat keyakinan saya adalah kenyataan bahwa banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berisi pengetahuan tentang alam, tubuh manusia, ruang angkasa, dan kehidupan — yang ternyata baru bisa dibuktikan secara ilmiah oleh sains modern belakangan ini.
Contohnya:
- Proses pembentukan janin dalam rahim, dijelaskan secara bertahap dalam Al-Qur’an (Surah Al-Mu’minun: 12–14), padahal teknologi untuk mengamati ini belum ada pada masa itu.
- Pemisahan air laut dan sungai yang tidak bercampur, disebut dalam Surah Ar-Rahman, yang dibuktikan dalam fenomena “halocline.”
- Ekspansi alam semesta, disebut dalam Surah Adz-Dzariyat ayat 47: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”
Semua ini adalah indikasi bahwa Al-Qur’an bukan hasil pemikiran manusia biasa, tetapi wahyu dari Zat Yang Mahatahu — Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan dari Akal yang Jernih
Maka, saya tidak lagi memeluk Islam semata karena warisan keluarga.
Kini saya memeluk Islam karena keyakinan akal yang sadar dan mantap.
Akal saya telah bekerja — berpikir, menimbang, menguji. Dan hasilnya:
“Islam adalah jalan yang paling lurus. Islam tidak hanya menjawab kebutuhan spiritual, tetapi juga memenuhi kecerdasan intelektual. Ia tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menyentuh logika terdalam.”
Saya temukan dalam Islam:
- Tuhan yang Mahaesa dan masuk akal.
- Ajaran hidup yang fitri dan universal.
- Kitab suci yang penuh dengan keajaiban ilmiah.
- Nabi yang rasional, manusiawi, dan sempurna dalam akhlak.
Penutup: Ketika Akal dan Iman Bersatu
Bagi saya, agama tidak boleh bertentangan dengan akal.
Dan Islam membuktikan dirinya sebagai agama yang bersahabat dengan akal, bahkan menjadikannya mitra dalam mencari kebenaran.
Saya Muslim bukan karena kebetulan lahir dalam Islam,
Tapi karena saya memilihnya — dengan akal, hati, dan keyakinan.
By: Andik Irawan