Zaman Kebingungan: Saat Panutan Tak Lagi Layak Diteladani Inilah zaman yang membingungkan.Zaman di mana orang-orang awam kehilangan arah, karena para pemuka kaum, para tokoh publik, tampil dengan perilaku yang membingungkan — tidak jelas, tidak tegas, dan tidak layak diteladani. Yang terjadi adalah paradoks besar: tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi penunjuk jalan, justru berjalan tanpa arah.Mereka yang seharusnya menegakkan nilai, justru mempermainkan nilai.Dan masyarakat awam, yang semestinya dibimbing menuju kebijaksanaan, kini terombang-ambing dalam kebingungan — tidak tahu siapa yang benar-benar patut dipercaya. Ketika Citra Mengalahkan Hakikat Kita sedang hidup di era pencitraan.Di…
Read MoreKategori: Berita
Bencana Kemanusiaan: Ketika Tokoh Publik Kehilangan Adab
Bencana Kemanusiaan: Ketika Tokoh Publik Kehilangan Adab Salah satu bentuk bencana kemanusiaan paling sunyi — namun dampaknya sangat luas — adalah ketika mayoritas tokoh publik, dari kalangan intelektual, akademisi, hingga profesional, tampil di panggung kehidupan dengan minim moral, minim adab, dan minim kebijaksanaan. Padahal, mereka sejatinya berperan sebagai sopir kemudi bagi masyarakat awam. Namun apa jadinya jika para sopir ini justru kehilangan arah, tidak lagi berpegang pada nilai kebenaran, dan hanya mengemudi berdasarkan kepentingan pribadi?Maka yang terjadi bukan sekadar kesesatan sosial, melainkan musibah kemanusiaan yang sesungguhnya. Krisis Kepemimpinan Moral Tokoh…
Read MoreIroni Kaum Cendekia: Ketika Pencerah Justru Ikut Memperkeruh Suasana
Ada satu ironi besar dalam setiap kegaduhan sosial: ketika yang mestinya menjadi penyejuk justru menjadi penyulut. Ketika mereka yang diharapkan membawa kebijaksanaan justru larut dalam gelombang emosi massa. Fenomena ini tampak jelas pada kasus kesalahpahaman tayangan Trans 7 tentang dunia pesantren—sebuah kesalahan yang telah diakui dan bahkan sudah disertai permintaan maaf, namun tetap saja dibesar-besarkan hingga melahirkan kehebohan yang tak proporsional. Yang lebih menyedihkan, mereka yang ikut memperkeruh justru datang dari kalangan yang seharusnya paling tenang dan jernih berpikir: kaum cerdik pandai, para penceramah, dan tokoh publik yang dikenal berpendidikan.…
Read MoreProporsional dalam Menyikapi Kesalahan: Jangan Pukul Nyamuk di Dahi dengan Palu Besi
Proporsional dalam Menyikapi Kesalahan: Jangan Pukul Nyamuk di Dahi dengan Palu Besi Dalam kehidupan sosial kita, sering kali muncul fenomena reaksi yang berlebihan terhadap suatu kesalahan kecil. Bahkan ketika pihak yang bersalah sudah mengakui kekeliruannya dan meminta maaf secara tulus, masih saja ada sebagian orang yang memperbesar perkara seolah dunia runtuh karenanya. Padahal, kalau mau jujur, setiap manusia pasti pernah salah. Yang membedakan hanyalah apakah ia mau memperbaiki diri atau tidak. Dalam konteks ini, ada pepatah yang pas untuk menggambarkan sikap berlebihan itu: memukul nyamuk di dahi dengan palu besar.…
Read MoreKesalahan Sudut Pandang: Ketika Cinta dan Adab Dianggap Eksploitasi
Kesalahan Sudut Pandang: Ketika Cinta dan Adab Dianggap Eksploitasi Ada satu hal mendasar yang sering membuat realitas menjadi keliru di mata publik: kesalahan dalam mengambil sudut pandang.Kesalahan kecil pada cara memandang bisa melahirkan kesimpulan yang menyesatkan — bahkan menghancurkan nilai luhur yang telah hidup berabad-abad dalam kebudayaan kita. Inilah yang tampak ketika salah satu media televisi mainstream, Trans7, menyorot fenomena dunia pesantren dari sudut pandang “umum”—sudut pandang modern perkotaan yang serba rasional, material, dan transaksional. Maka muncullah tafsir yang menyesatkan: santri membantu guru dianggap eksploitasi, mencium tangan guru dianggap kultus…
Read MoreKetika Tuhan Menegur Hati yang Keras
Ada jenis hati yang membuat langit muram dan bumi enggan memberi berkah — yaitu hati yang keras, hati yang kehilangan rasa peka terhadap penderitaan sesama, bahkan terhadap derita ibu, ayah, atau saudara sendiri.Hati seperti ini tidak lagi menunduk karena kasih, tidak tergetar karena air mata, dan tidak terusik oleh kesedihan orang-orang dekatnya yang sangat membutuhkan uluran tangannya. Kelak, hati seperti ini pasti akan menyesal.Dan yang lebih menakutkan dari penyesalan itu adalah: Tuhan tidak sudi terhadap hati yang keras — hati yang dipenuhi ego, sibuk dengan kepentingan diri, dan tuli terhadap…
Read MoreKetika Hati Tak Lagi Peka: Memahami Hilangnya Rasa Empati
Ketika Hati Tak Lagi Peka: Memahami Hilangnya Rasa Empati Ada satu hal yang membuat manusia tetap disebut manusia — rasa kasihan. Dari rasa kasihan itulah lahir kepedulian, belas kasih, dan dorongan untuk membantu orang lain, terutama mereka yang dekat dalam lingkar keluarga dan kerabat.Namun, mengapa ada orang yang mudah tergerak hatinya melihat penderitaan orang lain, sementara sebagian justru begitu dingin, bahkan kepada ibunya sendiri? Di sinilah misteri hati manusia bermula. 🌿 Empati, Getaran dari Hati yang Hidup Empati bukan sekadar kemampuan berpikir atau memahami keadaan seseorang. Ia adalah getaran halus…
Read MoreKetika Hati Tidak Diberi Makan
Dalam tiga hari saja, bila hati tidak diberi makan, ia bisa mati.Mati bukan dalam arti berhenti berdetak, melainkan mati rasa terhadap kebenaran, terhadap cahaya Allah, terhadap makna hidup. Hati itu makhluk halus, namun hidupnya sangat nyata.Ia tidak makan nasi, daging, atau roti.Makanannya adalah dzikir, doa, tadabbur Al-Qur’an, dan perjumpaan batin dengan Allah dalam sujud yang khusyuk.Jika itu tak lagi hadir dalam hidup kita, maka hati perlahan layu, dingin, dan kehilangan getarannya. Hati yang Mati: Hidup Tanpa Cahaya Hati yang mati tidak bisa lagi menikmati indahnya ibadah.Shalat terasa beban, Al-Qur’an menjadi…
Read MoreKetika Amal Jadi Gaya Hidup Mewah: Potret Orang Kaya yang Terlalu Bangga dengan Kebaikannya
💰 Ketika Amal Jadi Gaya Hidup Mewah: Potret Orang Kaya yang Terlalu Bangga dengan Kebaikannya Zaman sekarang, jadi orang kaya itu bukan cuma soal harta — tapi juga soal bagaimana cara memamerkannya dengan elegan.Ada yang pamer lewat mobil, ada yang lewat rumah, dan yang lebih halus: pamer lewat kebaikan. Mereka tak lagi sekadar ingin disebut kaya, tapi ingin dikenal sebagai orang kaya yang dermawan, religius, dan “rendah hati” — meski kenyataannya, kata “rendah hati” itu cuma hiasan di bibir, bukan di dada. 🏠 Amal yang Butuh Penonton Ada orang kaya…
Read MoreKelakar Orang Kaya dan Aroma Keangkuhan yang Tersembunyi
Di dunia yang gemerlap oleh harta dan jabatan, terkadang keangkuhan tak selalu datang dengan suara lantang. Ia datang lembut, bahkan lucu, dalam bentuk celetukan dan guyonan.Kelihatannya ringan, tapi di balik tawa itu ada aroma tipis kesombongan — semacam kebanggaan diri yang tak lagi mampu disembunyikan. Sebagian orang kaya tidak menyombongkan diri lewat pakaian mewah atau mobil berkilap. Mereka melakukannya lewat kata-kata — singkat, santai, tapi menusuk.Kalimat yang tampak seperti motivasi, padahal perlahan menyinggung mereka yang hidup sederhana. Coba dengarkan kelakar semacam ini: “Saya tuh kalau bangun pagi bukan buat cari…
Read More